Kamis 20 Sep 2018 23:31 WIB

Pemerintah Diminta Segera Atasi Defisit BPJS Kesehatan

DBH CUkai Hasil tembakau dan Pajak Rokok sangat tepat untuk pendanaan defisit BPJS

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang calon penumpang kereta api cek kesehatan di Posko Mudik BPJS Kesehatan, di Stasiun Bandung, Jalan Kebon Kawung, Kota Bandung, Rabu (21/6). Selama musim Lebaran posko mudik BPJS akan dibuka untuk melayani pemudik.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Seorang calon penumpang kereta api cek kesehatan di Posko Mudik BPJS Kesehatan, di Stasiun Bandung, Jalan Kebon Kawung, Kota Bandung, Rabu (21/6). Selama musim Lebaran posko mudik BPJS akan dibuka untuk melayani pemudik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati Kebijakan Fiskal Yustinus Prastowo meminta pemerintah segera mengatasi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena berpotensi menimbulkan persoalan serius. Di satu sisi ia menyoroti kebijakan pemerintah yang menerbitkan peraturan presiden (perpres) sebagai jalan keluar mengatasi defisit BPJS Kesehatan. 

Ia menjelaskan, perpres ini melakukan earmarking atau anggaran yang penerimaan maupun pengeluarannya secara spesifik sudah ditentukan. Menurutnya, ini ide yang win win, karena mengatasi masalah jangka pendek dan tidak menambah beban industri. Di samping itu, rendahnya disiplin anggaran Daerah, khususnya perencanaan dan pengukuran outcome juga menjadi pertimbangan.

"Pelaksanaannya masih banyak permasalahan dalam implementasi dana earmarking, baik DBH Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Pajak Rokok mulai dari masalah administrasi sampai permasalahan pengawasan," ujarnya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (20/9).

Tak pelak, kata dia, penggunaan dari dana DBH CHT dan Pajak Rokok masih belum optimal. Disaat yang sama terdapat masalah pendanaan BPJS Kesehatan. Oleh karenanya, ia menilai menjadikan DBH CHT dan Pajak Rokok sebagai sumber pendanaan defisit BPJS merupakan solusi yang tepat dan cermat.

Untuk merealisasikannya, Pemerintah melalui menteri kesehatan (Menkes) menerbitkan Permenkes No.53/2017 yang mengatur 75 persen dari earmark 50 persen pajak rokok untuk pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional.  Seperti diketahui, kata dia, berdasarkan UU No 40/2004, diselenggarakan  Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), antara lain Jaminan Kesehatan. Di samping itu, Pemda juga  menyelenggarakan Jamkesda yang sifatnya pendukung/penunjang SJSN.

Jamkesda dibiayai dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang salah satu sumber pendapatannya dari DBH CHT dan Pajak Rokok. Sebagian Daerah sudah mengintegrasikan Jamkesda ke BPJS Kesehatan. Daerah yang sudah mengintegrasikan Jamkesda-daerah tidak masuk dalam skema earmarking di Perpres ini.

Dengan demikian, kata dia, Pemerintah perlu menerbitkan sebuah Perpres yang dapat mengalokasikan sejumlah bagian tertentu untuk membiayai defisit BPJS Kesehatan yang sesuai dengan prinsip 

earmarking dalam UU Cukai dan UU PDRD, dan merupakan bauran kebijakan Pusat dan Daerah untuk memastikan bahwa seluruh warga masyarakat terjamin kesehatannya.

Untuk langkah jangka pendek, ia menilai kebijakan ini sudah tepat. Disiplin anggaran pemerintah daerah yang belum standar perlu diarahkan oleh pusat. Ke depan, perlu dilakukan formulasi pembiayaan yang sustainable, baik melalui iuran wajib maupun alokasi lain dari sumber-sumber yang bersifat earmark dengan tetap memperhatikan fairness dan keadilan. 

"Karenanya ekstensifikasi objek cukai menjadi kebutuhan yang amat mendesak, sebagai upaya perluasan sumber pembiayaan," ujarnya.

Di samping itu, menyelesaikan defisit dari iuran mandiri warga negara sesuai prinsip gotong royong dapat mencontoh kebijakan dan sistem perpajakan, termasuk disinergikan dengan administrasi perpajakan, khususnya melalui konsep Single Identification Number agar dapat secara efektif menyasar mereka yang mampu tapi tidak mau bayar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement