Jumat 14 Sep 2018 17:52 WIB

Rupiah Menguat, Analis: Ketegangan Dagang AS-Cina Mereda

Rupiah dinilai masih akan menghadapi tekanan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Teguh Firmansyah
Seorang petugas teller menghitung mata uang rupiah.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Seorang petugas teller menghitung mata uang rupiah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina mereda pasca-AS mengajukan negosiasi dagang yang baru. Kabar baik tersebut bersamaan dengan sorotan AS dan Kanada semakin mendekati kesepakatan dagang. Kondisi itu mendorong pelemahan nilai dolar dan memberi potensi bagi rupiah untuk melaju ke arah penguatan.

Research Analyst FXTM Lukman Otunuga mengatakan, ketegangan dagang terjadi sejak lama dan menjadi faktor utama pelemahan nilai tukar rupiah. Meredanya ketegangan tersebut mengindikasikan Presiden Donald Trump sudah tidak begitu agresif dalam kebijakan ekonomi.

“Berbagai mata uang Asia menguat karena risiko yang berkurang di pasar keuangan,” kata Lukman secara tertulis kepada Republika.co.id, Jumat (14/9) sore.

Mengutip Bloomberg, di pasar spot nilai tukar rupiah di penutupan akhir pekan menguat 0,23 persen menjadi Rp 14.806 per dolar AS. Sementara, berdasarkan Kurs Tengah Bank Indonesia mencatat rupiah diperdagangkan Rp 14.835 per dolar AS, melemah 41 poin dari perdagangan Kamis (13/9). Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 73,007 poin (1,25 persen) menjadi 5.931,281.

Baca juga, Dunia Khawatir Perang Dagang Antara Cina dan AS.

Lukman mengatakan, penguatan mata uang negara-negara Asia bukan pertama kalinya ketika melihat adanya optimisme pasar agar ketegangan dagang mereda. Pascamereda lalu disambut dengan peningkatan perang dagang.

Namun, untuk kali ini Lukman menilai investor terlihat optimistis bahwa kesepakatan perdagangan yang berlarut-larut tak kunjung usai akan segera berakhir.

Meski demikian, ia menilai penguatan rupiah kemungkinan besar hanya terjadi untuk jangka pendek walau ketegangan dagang akan usai.

Sebab, rupiah masih tertahan oleh sentimen negatif dari kemungkinan naiknya suku bunga bank sentral AS, The Fed. “Federal Reserve diperkirakan akan meningkatkan suku bunga bulan ini dan gejolak di pasar berkembang membebani sentimen pasar sehingga rupiah tetap rentan melemah,” ujar dia.

Menurut dia, ada kemungkinan otoritas moneter akan kembali menaikkan suku bunga pada tahun ini. Mengingat bahwa AS masih mungkin meningkatkan suku bunga dua kali lagi. Walaupun kenaikan suku bunga BI dapat membantu rupiah, tindakan itu dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement