Rabu 12 Sep 2018 14:20 WIB

Pembangunan Infrastruktur Diyakini Dapat Menahan Krisis

Indonesia termasuk negara berkembang dengan risiko paling kecil terpapar krisis

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Nidia Zuraya
Pembangunan infrastruktur, ilustrasi
Foto: Fanny Octavianus/Antara
Pembangunan infrastruktur, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kebijakan pembangunan infrastruktur dinilai dapat menahan krisis moneter. Demikian hasil analisis yang dilakukan oleh Nomura Holdings Inc baru-baru ini.

Perusahaan investasi asal Jepang itu juga menempatkan Indonesia dalam daftar delapan negara berkembang dengan risiko paling kecil terpapar krisis moneter. "Kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi, dalam hal ini, tentu policy mix, yaitu kombinasi kebijakan moneter dan fiskal. Tetapi proyek infrastruktur tetap menjadi panglima. Semua pihak mengakui itu,” kata pakar ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengutip hasil analisis tersebut, Rabu (12/9).

Selain kebijakan Jokowi di ranah moneter dan fiskal, sambung Tony, ada dua faktor positif yang mendukung analisis Nomura. Pertama, banyak proyek infrastruktur strategis yang menjadi daya tarik investor asing untuk menanamkan modal ke Indonesia.

"Tidak hanya strategis, proyek-proyek infrastruktur tersebut menjadi daya tarik karena efisien dan daya saingnya meningkat drastis. Ini yang membuat investor asing terkesan," ujarnya.

Kedua, kondisi sektor perbankan relatif cukup baik. Saat ini, Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal perbankan berada di angka 22 persen. Hal itu menjadi garansi, tidak akan terjadi krisis ekonomi yang berasal dari sektor perbankan, seperti terjadi pada krisis 1998.

"Bank masih bisa memberikan kredit dengan ekspansi 9 sampai 10 persen. Suatu hal yang tidak terjadi pada krisis 1998 lalu," kata Tony.

Kendati demikian, Tony tetap berharap pemerintah bisa mengendalikan defisit transaksi berjalan (CAD) yang mencapai 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Caranya adalah dengan mengerem proyek-proyek berbasis impor atau menggunakan devisa negara.

"Pemerintah harus menginjak pedal rem. Proyek-proyek yang berbahan baku impor atau menggunakan devisa, harus dikendalikan. Lebih selektif. Defisit transaksi berjalan harus dikendalikan di bawah 3 persen terhadap PDB," jelasnya.

Seperti diwartakan sebelumnya, Nomura merilis laporan tentang risiko krisis nilai tukar mata uang di sejumlah negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang juga terpapar risiko tersebut.

Analisis Nomura didasarkan pada model peringatan awal krisis yang dinamakan Damocles. Model ini digunakan untuk mengidentifikasi krisis nilai tukar di 30 negara berkembang. Model tersebut memeriksa sejumlah faktor, termasuk cadangan devisa, tingkat utang, suku bunga, dan impor.

Damocles memprediksi dua pertiga dari 54 krisis nilai tukar di negara berkembang sejak 1996 hingga 12 bulan ke depan. Dari situ muncul skor, dimulai dari 0 sampai 200. Jika skor sebuah negara lebih dari 100, dalam waktu 12 bulan ke depan akan berisiko mengalami krisis nilai tukar.

Nomura menyebut tujuh negara yang memperoleh nilai lebih dari 100, yaitu Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Pakistan, Mesir, Turki dan Ukraina. Sri Lanka memperoleh nilai tertinggi 175, sehingga dianggap paling berisiko terpapar krisis.

Sementara itu, ada delapan negara yang memiliki ketahanan atau resiliensi menghadapi kondisi krisis dan mendapatkan skor 0. Selain Indonesia, negara lain yang berisiko kecil terpapar krisis adalah Brasil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand.

Menurut Nomura, Indonesia dinilai cukup risilien. Dengan cadangan devisa 117 miliar dolar AS dan rendahnya rasio utang terhadap PDB, Indonesia masih cukup kuat untuk menahan pelemahan nilai tukar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement