REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menilai bahwa ekspor barang-barang konsumsi melalui perniagaan elektronik (e-commerce) masih terbilang rendah. Malah, menurut dia, angka impor jauh lebih besar sehingga menjadi tantangan bagi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.
"Kalau kita lihat dari sisi penjualan, sisi impor barang luar yang masuk lebih besar daripada sisi ekspor untuk kita jual melalui e-commerce. Itu yang menjadi persoalan dan tantangan bagi kita," kata Enggar dalam sambutannya pada penutupan International Conference and Call for Paper (ICCAP 2018) di Jakarta, Kamis (6/9)
Menurut Enggar, tren perdagangan masih dapat ditingkatkan, terutama pada ekspor barang-barang konsumsi dari Indonesia. Ia menyontohkan seperti otomotif, fesyen, hobi, serta produk kesehatan dan kecantikan, yang meningkat signifikan.
Selain ketidakseimbangan antara barang impor dan ekspor dalam pasar e-commerce, Enggar juga menilai pengusaha yang masih melakukan transaksi secara konvensional atau belum tersentuh digitalisasi, juga menjadi tantangan.
Padahal, kata Enggar, transaksi pasar e-commerce dunia pada tahun 2020 mencapai 2,6 triliun dolar AS, sedangkan Indonesia diprediksi mencapai 55 miliar dolar AS.
Nilai transaksi e-commerce Indonesia pun juga akan terus meningkat seiring pertumbuhan kedua platform besar yaitu formal e-commerce diperkirakan mencapai 40 miliar dolar AS dan socio commerce sebesar 15 miliar dolar AS pada tahun 2020.
Sebagai pasar e-commerce terbesar di ASEAN, Indonesia pun semakin membuka peluang di era ekonomi digital. Hal itu karena pasar e-commerce tidak hanya memberikan keuntungan finansial, tetapi juga meningkatkan penciptaan lapangan kerja sebanyak 26 juta pekerjaan yang didukung terutama dari UMKM.
Oleh karena itu, peningkatan daya saing produk lokal juga menjadi salah satu yang difokuskan pemerintah untuk meningkatkan penetrasi e-commerce di Indonesia.