Kamis 06 Sep 2018 16:12 WIB

PPh Impor Naik, Apindo Sebut Pengusaha Kurang Dilibatkan

Kebijakan kenaikan PPh impor mulai diberlakukan September ini

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Pajak (ilustrasi)
Foto: oursmart.com
Pajak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Kamdani menuturkan, pihaknya mendukung setiap usaha pemerintah dalam upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif, stabil dan berdaya daya tahan tinggi. Termasuk di antaranya melalui kebijakan kenaikan nilai impor Pajak Penghasilan (PPh) terhadap sejumlah komoditas.

Shinta menuturkan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh sentimen global. Mulai dari ketidakpercayaan kepada negara berkembang, perang dagang antara AS dengan Cina, kenaikan suku bunga the Fed dan lainnya.

"Ini memaksa kita mengambil respon yang segera dan mungkin terlihat sulit," ucapnya ketika dihubungi Republika, Kamis (6/9).

Shinta mengatakan, salah satu kebijakan yang bisa diambil pemerintah adalah menaikkan PPh impor. Kebijakan ini dinilai mampu membantu perekonomian Indonesai melalui penekanan terhadap defisit perdagangan sekaligus meningkatkan penerimaan negara.

Hanya, Shinta menyayangkan akan keputusan pemerintah yang lambat dalam melibatkan pengusaha. Menurutnya, pengusaha baru diajak terlibat pada injury time atau menit-menit terakhir menjelang keputusan itu diteken Kementerian Keuangan.

"Jadinya, masukan yang kami berikan belum cukup untuk merepresentasikan seluruh kepentingan pelaku usaha," ujarnya.

Shinta menambahkan, untuk beberapa komoditas konsumsi yang dikenakan kenaikan pajak 7,5 sampai 10 persen memang sudah ada subtitusi impornya. Sehingga, ia meyakini, dampaknya tidak akan terlalu substantif.

Tapi, Shinta memandang, pengenaan kenaikan PPh terhadap beberapa beberapa komoditas bahan baku penolong dan barang modal sebaiknya perlu dikaji kembali. "Bahan baku penolong dan barang modal yang dimaksudnya adalah barang konsumsi atau barang jadi yang dibutuhkan oleh industri manufaktur," tuturnya.

Shinta menilai, kebijakan tersebut berpotensi menurunkan daya saing produk manufaktur Indonesia sekaligus juga akan berpengaruh terhadap produktivitas industri manufaktur dan daya beli masyarakat.

Selain itu, dari sisi investasi, hal ini juga akan memberi sinyal kurang baik khususnya dalam negosiasi perdagangan yang sedang berjalan. Misanya, European Free Trade Association (EFTA) dan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

Kebijakan menahan bahan baku penolong dan modal juga membuat investor kembali harus mengkaji kembali strategy of entry mereka ke pasar Indonesia.

Mengingat keseriusan kondisi perekonomian global dan domestik saat ini, Shinta meminta pemerintah untuk memberi ruang untuk mengkaji kembali kebijakan ini. Pemerintah juga harus melibatkan pelaku usaha dalam proses pengambilan kebijakan sedari awal. "Supaya kami bisa memberi masukan yang komprehensif," tuturnya.

Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menuturkan, kebijakan pengendalian impor dengan melakukan penyesuaian tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap 1.147 barang konsumsi dari luar negeri bertujuan untuk menjaga pertumbuhan industri dalam negeri.

Airlangga menuturkan, kebijakan tersebut menjadi alat untuk menaikkan utilisasi. Terlebih, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia juga naik pada bulan Agustus.

"Artinya, masih ada geliat positif dan upaya ekspansi dari sektor industri," katanya dalam rilsi yang diterima Republika, Kamis (6/9).

Tarif PPh Pasal 22 merupakan pembayaran pajak penghasilan di muka yang dapat dikreditkan dan bisa terutang pada akhir tahun pajak. Untuk itu, menurut Airlangga, kenaikan PPh impor tidak akan memberatkan sektor manufaktur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement