REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rupiah kian terpuruk. Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis (6/9) pagi bergerak terapresiasi sebesar 48 poin menjadi Rp 14.880 dibandingkan posisi sebelumnya Rp 14.928 per dolar AS.
Pelemahan rupiah terhadap dolar AS juga menjadi sorotan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor. GP Ansor bahkan membahasnya secara khusus di dalam rapat pimpinan.
Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas mengtakan rakyat menunggu langkah konkret pemerintah dalam mencari solusi atas anjloknya rupiah karena dampaknya sangat besar. Yaqut tidak bisa membayangkan jika rupiah sampai melompat ke angka Rp 20.000. Saat ini saja dunia usaha dan rakyat sudah berat. Harga-harga pasti akan naik. Harga produk yang berbahan baku impor juga melambung.
Efek Berantai Pelemahan Rupiah
Menurut Yaqut, meski sebenarnya pelemahan nilai tukar rupiah sudah diprediksi sebelumnya dengan melihat ekspektasi pasar terhadap kenaikan bunga acuan bank sentral AS, Fed Fund Rate (FFR) yang naik beberapa kali sejauh ini, termasuk adanya permasalah perang dagang AS dan Cina, namun pelemahan rupiah terkesan kurang diantisipasi pemerintah.
"Pemerintah harus memberi perhatian ekstra terhadap terpuruknya rupiah dan segera mengambil langkah-langkah penanganannya secara tepat, mencari solusi yang benar-benar solutif,” kata Gus Yaqut, sapaan akrabnya, Kamis (6/9).
GP Ansor, lanjut Gus Yaqut, melihat secara ekonomi internasional ada tiga hal yang harus menjadi landasan pemerintah dalam mencari solusi atas krisis ini. Pertama, industrializing industry, yakni industri yang melahirkan industri lagi seperti membuat mesin, teknologi informasi. Artinya, jangan hanya fokus pada industri yang membuat produk habis pakai saja.
Kedua, jelasnya, adalah promosi ekspor. Maksudnya, industri-industri unggulan dan produk-produk unggulan harus menjadi prioritas untuk diekspor. “Bahkan dilakukan promosi besar-besar terhadap produk yang laku dan layak dijual di luar negeri,” kata Gus Yaqut.
Yang ketiga, lanjut Gus Yaqut, adalah substitusi impor. “Lakukan mapping mana produk-produk impor yang bisa disubstitusi, mana yang tidak bisa dengan melihat kapasitas industrinya. Dulu, misalnya, menjual pesawat Nurtanio untuk ditukar dengan beras. Terhadap produk seperti ini kalua perlu pemerintah kasih insentif. Tapi jika belum bisa disubstitusi, maka harus mempertimbangkan substitusi impornya dalam konteks global supply chain,” ucap dia.
Yang juga penting dilakukan, Gus Yaqut mengatakan, pemerintah harus memikirkan skenario terburuknya agar situasi terburuk tidak terjadi. Maksudnya, jangan hanya berpikir sebatas pada pelemahan rupiah saja.
Gus Yaqut memberi contoh, Tunisia sebelum krisis pada 2011 dinilai sebagai negara paling kompetitif di Afrika oleh WEF (World Economic Forum). Menurut IMF, Tunisia disebut sebagai contoh paling baik yang perlu ditiru sebagai negara paling aman di Afrika untuk investasi sehingga tidak termasuk negara gagal versi Failed State Index, di mana saat itu Cina dan Indonesia yang statusnya justru dinilai sudah bahaya.
“Tapi semua itu ternyata hanya asumsi saja. Tunisia ternyata menjadi negara pertama yang terlibas Arab Spring. Setelah Tunisia kemudian Mesir yang dalam kondisi baik-baik saja," kata dia.