REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak turun lebih dari satu persen pada akhir perdagangan Rabu waktu AS atau Kamis (6/9) pagi WIB. Penurunan harga minyak dipicu setelah Badai Tropis Gordon melemah dan menjauh dari daerah-daerah penghasil minyak. Selain itu, harga minyak turun dipicu meningkatnya kekhawatiran bahwa perselisihan dagang global dan krisis mata uang Turki akan mengurangi permintaan.
Minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober turun 1,15 dolar AS atau 1,65 persen menjadi menetap di 68,72 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara itu, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November turun 90 sen AS atau 1,15 persen menjadi ditutup pada 77,27 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Mengapa Krisis Argentina dan Turki Berpengaruh ke Rupiah?
Patokan global telah naik di sesi sebelumnya menjadi 79,72 dolar AS per barel, tertinggi sejak Mei. Minyak mentah melonjak pada Selasa (4/9) karena perusahaan-perusahaan minyak menutup lusinan anjungan lepas pantai untuk mengantisipasi kerusakan akibat Badai Tropis Gordon.
Namun, pada Rabu (5/9) badai tropis itu telah melemah dan tidak menimbulkan kerusakan besar pada fasilitas produksi minyak lepas pantai dan perusahaan-perusahaan energi di sepanjang Pantai Teluk AS. Alhasil, produksi kembali normal.
"Harga kemarin (4/9) naik dalam antisipasi bahwa badai dapat menimbulkan kerusakan pada sektor produksi dan penyulingan, tetapi setelah semua dikatakan dan terjadi kami kehilangan sedikit produksi serta kilang-kilang di Mississippi dan Louisiana terus berjalan saat Gordon melakukan pendaratan," kata Andrew Lipow, presiden Lipow Oil Associates.
Minyak juga melemah karena perselisihan perdagangan Amerika Serikat-Cina meningkatkan kekhawatiran permintaan. Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo mengatakan, sengketa perdagangan global dapat merugikan permintaan energi di waktu mendatang. Yang juga membebani minyak mentah berjangka adalah krisis mata uang di Turki. Lira telah jatuh lebih dari 40 persen tahun ini.
"Kekhawatiran krisis mata uang Turki menyebar ke pasar negara berkembang lainnya, yang telah mendorong kekhawatiran sisi permintaan," kata Abhishek Kumar, analis energi senior di Interfax Energy.
Sanksi-sanksi AS yang menargetkan sektor minyak Iran mulai November sudah mengurangi ekspor dari produsen terbesar ketiga OPEC itu dan menetralkan dampak dari perjanjian oleh OPEC dan sekutu-sekutunya untuk memproduksi lebih banyak minyak.
"Dengan antisipasi hingga 1,5 juta barel per hari dari dampak sanksi-sanksi AS terhadap Iran, orang akan memperkirakan harga akan bergerak lebih tinggi pada minggu-minggu mendatang," kata Stephen Innes, dari broker berjangka OANDA.