REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) berharap dapat ikut mengelola dana haji. Kompartemen BPRS Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) telah melakukan beberapa upaya agar pengelolaan dana haji bisa menyertakan BPRS.
Ketua Kompartemen BPRS Asbisindo, Cahyo Kartiko, mengatakan, sampai saat ini kompartemennya masih menggodok skema penempatan dana haji ke BPRS. Berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Dana Haji, Badan Pengelola Dana Haji (BPKH) ditunjuk untuk mengelola dana yang berasal dari calon jemaah haji Indonesia.
Dalam UU disebutkan dana haji bisa ditempatkan ke bank syariah yakni Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). Penempatan bisa dalam bentuk tabungan atau deposito.
Cahyo menyatakan, sebenarnya definisi Bank Syariah dalam UU No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji berbeda dengan deflnisi UU Perbankan Syariah yang menyebutkan Bank Syariah adalah Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Dia menilai hal tersebut diskriminatif padahal BPRS juga termasuk bank syariah.
Simpanan di BPRS juga dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sampai dengan Rp 2 miliar. Hal itu berdampak kepada tidak bisa dilakukannya penempatan tabungan atau deposito dari BPKH ke BPRS.
"Kami dari kompartemen BPRS Asbisindo berharap bisa ikut mengelola dana haji, BPRS itu diperkenankan mengelola. Karena potensinya luar biasa dana haji sudah lebih dari Rp 100 triliun. Kalau bisa dimanfaakan BPRS maka nasabah-nasabah juga turut menikmati layanan pembiayaan kami yang lebih menarik dan lebih bersaing," terang Cahyo saat berkunjung ke kantor Republika di Jakarta, Rabu (8/8).
Menurut Cahyo, Kompartemen BPRS Asbisindo telah melakukan beberapa upaya, antara lain, sudah membahas mengenai bagaimana BPRS bisa mengelola dana haji dengan menyelenggarakan focus group discussion (FGD). Selain itu, membentuk tim yang membahas dan memghasilkan konsep tentang pengelolaan dana haji di BPRS.
Kompartemen BPRS Asbisindo juga pernah terlibat dalam FGD yang digelar BPKH. Saat itu, BPKH meminta masukan kepada industri bagaimana pengelolaan dana haji di industri keuangan syariah termasuk kepada BPRS.
Menurutnya, Kompartemen BPRS Asbisindo terletak pada belum munculnya nama BPRS di UU Pengelolaan Dana Haji. "Kami berharap ada peluang yang tidak melanggar hukum yang bisa kami manfaatkan sebagai lembaga keuangan pengelola dana haji," ucap Cahyo.
Solusi atas kendala peraturan tersebut antara lain dengan skema pembiayaan. Skema penempatan dana haji ke BPRS dengan akad mudharabah muqoyyadah. Dana Haji dari BPKH ditempatkan ke BUS atau UUS untuk disalurkan ke BPRS dalam bentuk pembiayaan. Selanjutnya margin atau bagi hasil atas pembiayaan pada BPRS dibagi antara Bank Umum Syariah dan BPKH.
Metode tersebut dinilai paling mudah. Sebab, selama ini bank umum syariah telah menyalurkan pembiayaan kepada BPRS. Cahyo tidak berharap seluruh dana haji.
"Misalnya dari dana haji yang ditempatkan di bank syariah kita ambil 10-20 persen tidak masalah. Polanya sudah ada karena bank sudah menyalurkan secara linkage. Tinggal sumber dana apakah dari masyarakat umum atau dari BPKH," katanya menambahkan.
Meski demikian, Kompartemen BPRS Asbisindo juga berencana menempuh jalur konstitusional melalui yudisial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Kompartemen BPRS Asbisindo akan mencoba meminta kepada MK untuk meninjau kembali klausul di UU Pengelolaan Dana Haji agar bisa ditambahkan keterlibatan BPRS sebagai bank pengelola dana haji.
Opsi yudisial review dinilai sebagai solusi jangka panjang yang jauh lebih bagus. Dia menilai solusi terbaik berupa mengkaji ulang terhadap UU Pengelolaan Dana Haji. Kompartemen BPRS Asbisindo merencanakan tahun ini konsep yudisial review sudah selesai.
"Kami di industri sudah siap apakah diterimakan dalam bentuk titipan dana bisa tabungan atau deposito atau diarahkan ada imbal hasil tertentu. Juga bisa kami peroleh dari penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan. Hal ini sudah kami sampaikan kepada BPKH," ungkap Cahyo.
Per Mei 2018 jumlah BPRS sebanyak 168 BPRS dengan 462 kantor yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Sampai pertengahan 2018, BPRS tetap mengalami pertumbuhan positif.
Hal itu terlihat dari total aset dari seluruh BPRS sebesar Rp 11,1 triliun mengalami pertumbuhan sebesar 15,7 persen dari posisi Mei 2017 sebesar Rp 9,65 triliun. Pertumbuhan aset ditunjang oleh perkembangan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) yang mengalami pertumbuhan sebesar 16,9 persen menjadi Rp 7,14 triliun serta pertumbuhan penyaluran pembiayaan sebesar 15,4 persen menjadi Rp 8,53 triliun.
Sekjen Kompartemen BPRS Asbisindo, Alfi Wijaya, mengatakan Kompartemen BPRS Asbisindo akan berpartisipasi aktof dan Ikut mensukseskan pelaksanaan Munas Asbisindo yang akan direncanakan pada September 2018. Dalam Munas Asbisindo 2018 diharapkan memperkuat kelembagaan Kompartemen BPRS untuk semakin mendukung perkembangan bisnis industri BPRS.
Berbagai aktivitas yang telah dilakukan Kompartemen BPRS antara lain advokasi kepada anggota, pengembangan produk dan branding bersama, melakukan pengkajian serta sertifikasi untuk mendukung pengembangan kompetensi sumber daya manusia.