REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- BPK dan Kementerian KLHK mencatat kerugian yang dialami oleh Indonesia akibat proses penambangan yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia. Kerugian ini kemudian menjadi salah satu komponen yang mempengaruhi nilai divestasi saham.
Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga, PT. Inalum, Rendy A Witular menjelaskan aspek aspek lingkungan menjadi komponen dalam memperoleh nilai 3,85 miliar dolar. Angka tersebut merupakan nilai yang nantinya akan dibayarkan oleh Inalum untuk bisa membeli divestasi saham Freeport Indonesia.
"Aspek lingkungan masuk dalam perhitungan juga," ujar Rendy saat ditemui di DPR, Senin (23/7).
Inalum tidak akan Meminjam dari Bank BUMN
Selain aspek lingkungan, Rendy juga menjelaskan harga yang dipatok saat ini merupakan valuasi saham PT. Freeport Indonesia hingga 2041 mendatang. Valuasi ini berdasarkan framework agreement bersama antara FCX dan Pemerintah Indonesia pada Agustus lalu.
Ia juga menjelaskan, dalam valuasi ini Inalum dan Pemerintah Indonesia tidak mengikutsertakan cadangan sebagai salah satu komponen saham. Sebab, cadangan yang ada merupakan milik Indonesia. Komponen yang dihitung dalam valuasi adalah hasil tambang atau produksi dan cash flow yang bisa diproduksi sampai akhir masa kontrak.
"Produksi tidak sama dengan cadangan.Dalam valuasi harga ini, kami tidak memperhitungkan cadangan dengan potensi emas yang sangat besar di blok Kucing Liar, yang menjadi bagian dari Blok A konsesi PTFI (PT Freeport Indonesia-red). Ini kembali mempertegas bahwa kami tidak menghitung cadangan dalam melakukan valuasi harga," ujar Rendy.
Pihak Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) merilis dua temuan pelanggaran yang dilakukan oleh PTFI. Dugaan pelanggaran tersebut berkaitan dengan penyalahgunaan izin penggunaan kawasan hutan lindung dan perubahan ekosistem akibat limbah hasil operasional tambang.
"Berdasarkan hasil penghitungan dengan tenaga ahli dari IPB (Institut Pertanian Bogor), nilai ekosistem yang dikorbankan dari pembuangan limbah operasional penambangan sebesar Rp 185 triliun," ujar Anggota BPK, Rizal Djalil.