Jumat 20 Jul 2018 13:38 WIB

Harga Ayam Potong di Medan Tembus Rp 38 Ribu per Kg

Pedagang menyebut pasokan ayam berkurang.

Rep: Issha Harruma/ Red: Teguh Firmansyah
Pedagang melayani pembeli daging ayam potong di pasar Inpres Lhokseumawe, Aceh, Kamis (14/5).
Foto: Antara/Rahmad
Pedagang melayani pembeli daging ayam potong di pasar Inpres Lhokseumawe, Aceh, Kamis (14/5).

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Harga ayam potong atau broiler di sejumlah pasar tradisional di Kota Medan mengalami kenaikan. Naiknya harga ayam ini disebabkan lantaran pasokan yang kurang.

Di pasar Petisah, ayam potong dijual dengan harga Rp 38 ribu per kilogram. Salah seorang pedagang, Hamzah mengatakan, kenaikan harga ini terjadi sejak beberapa hari sebelum Lebaran Idul Fitri lalu. "Belum pernah turun. Naik terus sampai sekarang. Susahlah jualnya," kata Hamzah, Jumat (20/7).

Hamzah menyebutkan, sebelum Lebaran, ayam potong masih dijualnya dengan harga Rp 25 ribu per kg. Setelah Lebaran, harga terus naik hingga pekan lalu menjadi Rp 35 ribu per kg. Sepekan terakhir, Hamzah mengatakan, ayam ras dijualnya seharga Rp 38 ribu per kg.

Baca juga, Harga Daging Ayam di Pasar Bantul Melonjak.

Ketersediaan barang di sejumlah pemasok dituding menjadi penyebab naiknya harga secara signifikan. "Kalau kata pemasok, mulai sedikit barang. Di pasar manapun sedikit. Jadi mereka bikin harga yang tinggi. Mau nggak mau, ya harganya naik," ujar Hamzah.

photo
Penjualan daging ayam.

Kenaikan harga ayam ini dikeluhkan oleh para pembeli. Shinta, salah satu pedagang warung makan mengatakan, kenaikan tersebut membuat untung yang didapat semakin tipis. Meski tinggi, dia pun harus tetap membeli ayam untuk dijualnya sebagai lauk.

"Mau gimana lagi. Kan nggak mungkin nggak dibeli. Namanya kita orang jualan nasi. Menu ayam itu harus ada," kata Shinta.

Pengamat ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menyebut, komponen impor dalam produksi telur dan daging ayam di dalam negeri mencapai sekitar 60 persen. Impor itu berasal dari mulai indukan ayam atau yang biasa disebut grandparents stock, bahan baku pakan ayam, hingga vitamin yang diberikan untuk unggas.

Dari sisi pakan, Dwi menyebut perusahaan pakan unggas masih sangat bergantung pada bahan baku berupa jagung impor. Sebab, harga jagung impor jauh lebih murah dibanding jagung lokal. “Komponen impornya sangat besar, walaupun dari sisi produksi kita swasembada,” kata Dwi, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/7).

Besarnya komponen impor tersebut membuat komoditas telur dan ayam rentan mengalami gejolak harga. Hal itu terutama saat kurs rupiah sedang mengalami tekanan seperti saat ini.

Menurut Dwi, Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengurangi ketergantungan akan bahan baku impor. Untuk indukan ayam, misalnya, ia meyakini peneliti di dalam negeri memiliki kapasitas untuk mengembangkan indukan ayam yang bisa tumbuh secara cepat dan efisien. Namun, dibutuhkan dukungan dari pemerintah agar hasil dari pengembangan tersebut dapat diaplikasikan secara luas di dalam negeri

Cara lain, kata Dwi, yakni dengan mendorong perubahan pola konsumsi masyarakat dari ayam negeri ke ayam kampung. “Pemerintah bisa memberikan subsidi untuk ayam kampung sehingga itu yang berkembang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement