Kamis 12 Jul 2018 09:28 WIB

BI: Semua Negara Hadapi Tekanan Mata Uang

BI belum bisa memastikan apakah akan kembali menaikkan suku bunga atau tidak.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Teguh Firmansyah
Pergerakan suku bunga perbankan 2018
Foto: republika
Pergerakan suku bunga perbankan 2018

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 100 basis poin (bps) untuk menahan pelemahan kurs rupiah. Padahal dalam rentang dua bulan bank sentral telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 100 bps.

Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengaku belum bisa memastikan apakah BI akan menaikkan suku bunga acuannya lagi atau tidak. BI masih perlu mempertimbangkannya secara matang.

"Kami belum bisa prediksi, yang pasti kita jaga keseimbangan internal dan eksternal. Dampaknya juga akan kita lihat tahun depan seperti apa," ujar Nanang di Jakarta, Rabu, (11/7).

Ia pun menyebutkan, tidak hanya Indonesia, hampir semua negara di dunia pun mengalami tekanan mata uang. Thailand bahkan sudah habiskan 8 miliar dolar AS dalam tiga bulan untuk jaga stabilitas. "Jadi semua negara memang naikkan suku bunga karena likuiditas secara global menurun," tuturnya.

Lebih lanjut, kata dia, kebijakan BI menaikkan suku bunga acuannya bukanlah untuk merespons kondisi ekonomi domestik. Melainkan merespon tekanan global.

"Jadi kita tetap jaga stabilitas. Kami juga imbau agar gunakan valas (valuta asing) sesuai kebutuhan," tambah Nanang.

Sebelumnya, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan, kenaikan suku bunga acuan tersebut untuk merespons kenaikan Fed Fund Rate (FFR). "Kalau The Fed naik empat kali, kita bisa naik dua persen sampai tahun depan," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin, (9/7).

Ia menilai, hal itu harus menjadi perhatian Bank Indonesia ke depan. Pasalnya, Amerika Serikat berencana kembali mengerek suku bunga the Fed pada September dan Desember tahun ini. Sedangkan, di tahun depan kemungkinan naik lagi dua hingga tiga kali.

Gejolak pelemahan kurs rupiah, kata dia, perlu diredam di antaranya dengan kenaikan suku bunga acuan. Alasannya, kini semua bahan baku untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor masih banyak yang diimpor menggunakan mata uang dolar.

“Jadi dampaknya harga pokok akan naik, inflasi kita bisa tinggi, itu bahaya. Bisa mengurangi daya beli, kalau tidak dinaikkan agak berat,” ujar Jahja.

Direktur BCA Vera Eve Lim menambahkan, perseroan belum bisa menentukan, apakah akan menyesuaikan suku bunga baik kredit maupun deposito seiring kenaikan suku bunga acuan BI sebanyak 50 bps. "Belum kita masih akan lihat dulu," katanya pada kesempatan serupa.

Baca juga, Perbankan Waspadai Nilai Tukar Rupiah.

Pada Juni lalu, BCA pun baru saja menaikkan suku bunga deposito sebagai respon dari kenaikan suku bunga acuan BI sebelumnya. "Jadi jangan buru-burulah," kata Vera.

Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga acuannya BI 7 Days Reverser Repo Rate sebesar 50 basis poin. Dengan kenaikan itu, kini suku bunga ditetapkan sebesar 5,25 persen dari sebelumnya 4,75 persen.

Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, langkah ini diambil demi menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah berbagai tekanan global, terutama dari Amerika Serikat (AS).

"Keputusan ini berlaku efektif mulai Jumat 29 Juni 2018," ujar Perry di gedung BI, Jakarta, Jumat, (29/6).

Tidak hanya suku bunga acuan, bank sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility sebesar 50 basis poin, masing-masing menjadi 4,5 persen serta 6 persen.

Perry pun menjelaskan, keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan langkah lanjutan Bank Indonesia untuk secara pre-emptive, front-loading, dan a head of the curve menjaga daya saing pasar keuangan domestik terhadap perubahan kebijakan moneter sejumlah negara. Ditambah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement