Senin 09 Jul 2018 14:35 WIB

Gubernur BI: Perang Dagang Berdampak Buruk Bagi Dunia

Perry menilai perang dagang turut berimbas ke sektor keuangan.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Teguh Firmansyah
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo
Foto: Republika TV/Fakhtar Khairon
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menilai, ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Cina bisa berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi dunia. Hal itu, lantaran perang dagang dapat menurunkan ekspor dan impor dua negara itu dan kemudian merambat ke negara-negara lain.

"Memang itu (perang dagang) akan merugikan tidak hanya kedua negara tapi juga ke seluruh dunia," kata Perry di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Senin (9/7).

Menurut Perry, perang dagang juga berpengaruh pada sektor keuangan. Ia menyebut, hal itu menimbulkan respons kebijakan moneter di AS dengan menaikkan suku bunga The Fed. Kebijakan tersebut kemudian memicu penarikan modal dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

"Respons terhadap meningkatnya ketidakpastian itu mengharuskan pasar keuangan sejumlah negara harus berdaya saing. Termasuk yang kita lakukan dengan kenaikan suku bunga kebijakan yang kemarin kita lakukan," kata Perry.

Untuk diketahui, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin dalam rentang waktu dua bulan menjadi 5,25 persen.  Selain itu, Perry akan meningkatkan koordinasi dengan pemerintah dan OJK untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan.

"Kita juga mencari terobosan baru untuk mendorong ekonomi kita baik dari luar maupun dalam negeri. Misalnya, mendorong sektor pariwisata, mendorong ekspor barang berdaya saing, dan juga mendorong produk dalam negeri untuk substitusi impor," katanya.

Baca juga, Prancis Dukung Uni Eropa Melawan Perang Dagang AS.

Kepala Ekonom Asia Pasifik di IHS Markit, Rajiv Biswas, menyatakan, skenario perang perdagangan global yang meningkat dapat memangkas pertumbuhan PDB Asia-Pasifik sebanyak 1 persen pada 2019. Hal itu tergantung pada berapa lama perang dagang ini berlanjut dan seberapa jauh eskalasi akan terjadi.

Wilayah Asia Pasifik sangat rentan terhadap skenario perang perdagangan karena Cina berada di garis depan langkah-langkah tarif AS dan merupakan ekonomi terbesar di APAC (Asia Pasifik).  "Banyak ekonomi APAC lainnya juga rentan terhadap kerusakan agunan dari perang perdagangan AS-Cina yang meningkat karena rantai pasokan manufaktur Asia Timur yang terintegrasi dan pentingnya Cina sebagai pasar ekspor untuk ekonomi APAC lainnya," jelasnya melalui siaran pers, Senin (9/7).

AS menerapkan tarif pajak sebesar 25 persen pada impor Cina senilai 34 miliar dolar dan mulai berlaku mulai 6 Juli 2018. Cina segera membalas dengan tarif pada jumlah yang setara dengan impor senilai 34 miliar dolar AS dari AS. Tarif tersebut menargetkan produk pertanian AS, termasuk kedelai, susu dan daging sapi serta otomotif dan suku cadang buatan AS.

Pemerintah AS berencana meningkatkan hingga 50 miliar dolar AS nilai total produk-produk Cina yang akan dikenakan tarif tarif Bagian 301. Presiden Trump juga mengindikasikan tambahan impor senilai 200 miliar dolar AS dari Cina jika Beijing memberlakukan langkah-langkah tarif balasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement