Jumat 06 Jul 2018 16:06 WIB

Dradjad Geli dengan Klaim AS Ancam Perang Dagang Indonesia

Yang benar adalah AS mengevaluasi apakah Indonesia masih layak mendapat GSP.

Anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad Wibowo
Foto: istimewa/doc pribadi
Anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad Wibowo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior INDEF Dradjad Wibowo mengatakan tidak ada ancaman perang dagang antara Indonesia dengan AS. Dradjad justru geli kalau ada yang menyebut AS mengancam perang dagang dengan Indonesia, karena Indonesia belum 'levelnya' AS.

"Saya tentu saja kaget, tapi juga geli. AS diklaim mengancam perang dagang dengan Indonesia? Lucu," kata Dradjad, Kamis (6/7). Hal ini terkait dengan munculnya berita ancaman perang dagang dari Trump terhadap Indonesia. Dan dalam berita itu disebutkan Indonesia pun siap melakukan serangan balik.

Dijelaskannya, dalam perdagangan internasional ada yang disebut Generalized System of Preferences (GSP). GSP adalah sebuah sistem tarif preferensial yang membolehkan satu negara secara resmi memberikan pengecualian terhadap aturan umum WTO / Organisasi Perdagangan Dunia.

Singkatnya, lanjut Dradjad, melalui GSP satu negara bisa memberi keringanan tarif bea masuk kepada eksportir dari negara-negara tertentu, biasanya dari negara miskin. Sementara itu eksportir negara kaya tetap dikenakan aturan umum WTO.

Sejak 1974, AS sangat banyak memberikan GSP. Saat ini, kata anggota Dewan Kehormatan (Wanhor) PAN ini, setidaknya terdapat 112 negara merdeka dan 17 teritori yang mendapat GSP dari AS. Jumlah produk yang diberi GSP sekitar 5000-an item.

Selain untuk membantu pembangunan negara miskin, GSP juga bertujuan mempromosikan nilai-nilai Amerika, termasuk demokrasi dan supremasi hukum. Jadi jelas, GSP adalah salah satu alat politik luar negeri AS untuk menjaga pengaruh dan dominansi globalnya.

Negara hebat seperti China, negara G7, Uni Eropa, Rusia, Australia, dan Selandia Baru tidak meminta dan tidak menerima GSP. "Dari ASEAN, ada Singapura dan Malaysia," kata Dradjad.

Indonesia sendiri justru menjadi salah satu penerima GSP, bersama negara ASEAN lain yaitu Thailand, Filipina, Kamboja dan Myanmar. Setiap tahun United States Trade Representative (USTR) mengadakan review terhadap penerima GSP.

Jauh sebelum Trump berkuasa, kata Dradjad, Indonesia sudah masuk review kelayakan GP dan //priority watch list (PWL) dari USTR dalam kriteria hak kekayaan intelektual (HAKI). Jadi kelayakan GSP Indonesia bisa dicabut jika gagal memenuhi kriteria HAKI.

Pada tanggal 13 April 2018 USTR mengumumkan akan melakukan review kelayakan GSP terhadap 3 negara yaitu Indonesia, India dan Kazakhstan. "Indonesia akan dinilai dalam kriteria akses pasar serta kriteria jasa dan investasi. India dalam kriteria akses pasar, sedangkan Kazakhstan kriteria hak pekerja," paparnya.

Secara spesifik, yang menjadi sorotan USTR adalah terkait industri obat-obatan, kimia/pertanian dan beberapa aturan sektor jasa/investasi yang dinilai tidak fair.

"Itulah yang sebenarnya terjadi. Yaitu, review apakah Indonesia masih layak mendapat GSP. Dulu hanya HAKI, sekarang ditambah dua kriteria: akses pasar serta jasa dan investasi. Apakah memberatkan kita? Tentu saja! Tapi ini bukan perang dagang. AS berbelas-kasihan ke kita. Dan sekarang mau ngecek apakah Indonesia masih pantas dibelas-kasihani," paparnya.

Dari sisi skala impor pun, Indonesia belum levelnya diajak perang dagang AS. Impor AS dari Indonesia relatif sangat kecil. Hanya 19.6 milyar dolar AS pada tahun 2015 sesuai data US International Trade Commission. Ini hanya sekitar 1/25 atau 4,1 persen dibanding impor dari Cina, 1/15 Kanada atau Meksiko, lebih dari 1/7 Jepang dan hampir 1/6 Jerman. Terlalu kecil.

Yang aneh, lanjut Dradjad, meski sudah dapat GSP, Indonesia adalah pembayar tarif bea masuk terbesar kelima di AS, sebesar 1.3 milyar dolas AS pada tahun 2015. Ini membuat Indonesia terkena tarif efektif sebesar 6,4%, dua kali lipat Cina yang tanpa GSP tapi hanya kena 3%.

"Parah kah? Jadi untuk apa AS perang dengan Indonesia? Wong diplomat Indonesia selama ini sudah lemah dalam negosiasi tarif bagi negaranya," paparnya.

Kesimpulannya, kata Dradjad tidak ada ancaman perang dagang dari AS. "Daripada gagah-gagahan di dalam negeri, lebih baik pemerintah kerja kerja dan kerja menurunkan tarif efektif di atas," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement