Kamis 05 Jul 2018 21:07 WIB

Fintech Syariah ALAMI dan 13 Bank Syariah Jalin Kemitraan

Model bisnis aggregator pada dasarnya bukanlah hal baru di Indonesia

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Budi Raharjo
Ilustrasi Fintech ( Financial Technology)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Fintech ( Financial Technology)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan teknologi finansial (tekfin) aggregator syariah pertama di Indonesia ALAMI melakukan kemitraan dengan 13 bank umum syariah untuk menyalurkan dananya.

CEO dan Founder ALAMI Dima Djani menilai, Indonesia saat ini sudah memiliki cukup banyak lembaga keuangan syariah yang siap mendukung pengembangan ekonomi umat dengan sistem pinjaman bebas riba. Memilih model bisnis aggregator, ALAMI ingin mendukung penguatan posisi institusi jasa keuangan syariah Indonesia di masyarakat yang lebih luas lagi.

“Saat ini kita memiliki setidaknya 13 bank umum syariah yang siap menyalurkan dana kepada umat. Melalui positioning kami sebagai perusahaan tekfin aggregator syariah, ALAMI memiliki keunggulan untuk mempertemukan layanan perbankan tadi ke calon-calon nasabah yang ingin memperbesar skala usaha namun tetap dalam koridor syariah,” tutur Dima dalam rilis yang diterima Republika, Kamis (5/7).

ALAMI merupakan salah satu contoh sukses dari sebuah perusahaan yang menjadikan aggregator sebagai model bisnisnya. Perusahaan yang berdiri sejak akhir tahun 2017 ini memiliki fokus untuk menjembatani pelaku usaha ke akses pembiayaan syariah yang dimiliki oleh perbankan syariah di Indonesia.

Platform digital ALAMI memungkinkan calon nasabah untuk mendapatkan informasi perbankan yang sesuai dengan kondisi keuangan usahanya untuk melakukan pembiayaan modal dalam rangka ekspansi bisnis.

Model bisnis aggregator pada dasarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Berdasarkan data dari Asosiasi Fintech Indonesia tahun 2018, saat ini terdapat 235 perusahaan fintech dimana 26 di antaranya bergerak di bidang market aggregator.

Adapun jasa yang ditawarkan oleh banyak perusahaan aggregator ini adalah menghubungkan konsumen (end-user) kepada perusahaan yang memiliki jasa, produk atau layanan tertentu. Perusahaan aggregator ini kemudian bertugas untuk mengonsolidasi dan menstandardisasi sebelum didistribusikan lewat mekanisme platform digital.

Di tengah arus informasi dan perkembangan teknologi yang kian cepat, perusahaan aggregator bisa menjadi kunci untuk membantu masyarakat menentukan pilihannya terhadap produk, layanan dan jasa yang paling sesuai. Di sisi lain, perusahaan aggregator juga membantu merekatkan banyak aspek dalam ekosistem digital yang mampu bekerja sama dengan ekosistem konvensional, misalnya saja di sektor keuangan.

Meskipun demikian, Dima juga melihat adanya risiko dalam model bisnis ini. Di dalam ekosistem digital, model bisnis aggregator perlu punya value-add agar dapat memberikan solusi yang optimal bagi nasabah. Jangan sampai end-user atau konsumen menilai keberadaan aggregator justru menambah kerumitan saat mereka ingin mengakses layanan dari penyedia jasa.

"Ini adalah risiko yang perlu dikelola untuk menjaga masa depan bisnis, karenanya di ALAMI, kami selalu berupaya memberikan value added service (VAS) dalam layanan kami, misalnya proses credit scoring yang cepat dan transparan, penyampaian informasi yang jelas dan mudah dipahami oleh end-user, serta tampilan platform digital yang tidak ribet,” jelas Dima.

Hal ini diyakini bisa menjadi solusi untuk memastikan bisnis aggregator tetap potensial di masa depan. Terlebih dengan teknologi yang kian berkembang pesat tidak menutup kemungkinan untuk para penyedia jasa mengembangkan sendiri kapasitas teknisnya, dimana kebutuhan akan bantuan pihak aggregator menjadi tidak lagi relevan.

Meskipun risiko menjalankan bisnis aggregator cukup tinggi, ALAMI tetap optimistis bahwa model ini bisa diterima oleh masyarakat dan partner, khususnya dalam lingkup target pasar yang notabene adalah pelaku usaha.

Pengusaha UKM biasanya sangat mengandalkan figur owner sebagai pengambil keputusan utama. Dalam peranannya, pemilik usaha kerap dihadapkan dengan keterbatasan waktu, pilihan dan minimnya informasi sumber pendanaan yang cocok dengan kondisi keuangan bisnisnya.

“Teknologi aggregator membantu masyarakat bisa lebih memahami bahwa ada alternatif yang bisa diakses dengan mudah dan transparan sesuai latar belakang bisnis masing-masing. Lebih khusus, dari perspektif partner syariah, keberadaan aggregator bisa membantu mereka menentukan target distribusi dana ke masyarakat tanpa harus mengeluarkan biaya pengembangan teknis,” jelasnya.

Ditambah lagi, posisi perusahaan tekfin aggregator syariah di Indonesia pada dasarnya sangat menarik karena mereka bermain di ceruk yang belum banyak tersentuh oleh pemain tekfin lainnya.

Layanan yang diberikan oleh tekfin aggregator syariah bisa dimaknai sebagai solusi satu pintu atas beberapa masalah dalam industri jasa keuangan syariah di Indonesia mulai dari perbaikan image lembaga keuangan syariah, sampai dengan percepatan penetrasi dan inklusi keuangan syariah di masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement