Kamis 05 Jul 2018 17:40 WIB

Ekonom Indef: Proyek Infrastruktur Penyebab Impor Bengkak

Pemerintah diminta untuk mengatur impor BUMN sebelum ke swasta.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Teguh Firmansyah
Arus ekspor-impor di pelabuhan
Foto: M Syakir/Republika
Arus ekspor-impor di pelabuhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah bisa menahan impor untuk proyek infrastruktur yang dikerjakan BUMN. Menurutnya, hal itu dapat membantu penguatan rupiah.

"Kalau impor BUMN diatur, saya kira sudah cukup signifikan menguatkan rupiah. Atur impor BUMN dulu baru evaluasi impor swasta," kata Bhima ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (5/7)

Ia mengatakan, penyebab impor membengkak salah satunya adalah proyek infrastruktur yang sedang dikerjakan BUMN. Hal itu, kata Bhima, terindikasi dari impor mesin dan mekanik yang tumbuh 31,9 persen (year on year/yoy) selama Januari hingga Mei 2018. Kemudian, impor mesin dan peralatan listrik naik 28,16 persen (yoy) dan besi baja 39 persen (yoy).

"Kalau mau mengurangi impor, kewajiban TKDN proyek infrastruktur disarankan jadi 60 hingga 70 persen. Komitmen BUMN penting agar defisit perdagangan mengecil sehingga permintaan valas turun," katanya.

Ia memprediksi, rupiah akan melemah hingga Rp 14.700 per dolar AS pada akhir Juli. Ia berpendapat, posisi Indonesia dirugikan akibat perang dagang karena berada dibawah rantai pasokan global sebagai negara pemasok bahan baku AS dan Cina.

"Jika volume perdagangan dunia turun, imbasnya permintaan batubara, sawit, hingga karet akan anjlok," kata Bhima.

Bhima menyebut, dalam perdagangan lima bulan terakhir, Indonesia mencatat empat kali defisit perdagangan. Hal itu diprediksi akan makin memburuk setelah 6 Juli ketika Cina mulai menerapkan tarif bea masuk untuk produk impor AS.

"Ada kaitan erat antara melemahnya ekspor dengan permintaan rupiah yang anjlok. Sementara, dampak lain adalah indonesia jadi target barang impor Cina. Banjir impor membuat permintaan valas terutama dolar naik signfikan," katanya.

Sebelumnya, pemerintah berencana untuk lebih selektif dalam melakukan impor. Hal itu guna memperbaiki neraca transaksi berjalan yang masih mengalami defisit. Untuk diketahui, neraca transaksi berjalan defisit sebesar 2,1 persen terhadap PDB pada kuartal pertama 2018.

"Kita akan mulai meneliti kebutuhan impor, apakah itu memang betul-betul yang dibutuhkan untuk perekonomian Indonesia dan secara selektif akan meneliti siapa-siapa yang membutuhkan apakah itu dalam bentuk bahan baku ataupun barang modal," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa (3/7). 

Menkeu menjelaskan, pemerintah bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan akan terus mewaspadai kondisi yang terkait dengan dinamika nilai tukar maupun dari keseluruhan perekonomian. Salah satu hal yang dicermati adalah defisit neraca transaksi berjalan.

Baca juga, Rupiah Masih Bergerak Melemah.

Oleh karena itu, pemerintah akan berkoordinasi untuk bisa memperbaikinya dengan mendukung ekspor dan mendorong pariwisata sebagai kegiatan yang bisa menghasilkan devisa untuk negara.

Hal itu menjadi respons pemerintah atas tren pelemahan rupiah yang terus terjadi meski BI telah menaikkan tingkat suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate hingga menjadi 5,25 persen.

Sri mengatakan, impor bahan baku masih dilakukan terutama untuk menunjang produksi. Akan tetapi, ia mengaku akan meninjau kembali impor barang modal terutama yang berhubungan dengan proyek-proyek pemerintah.  "Kita akan lihat isinya apa dan apakah proyek ini urgent diselesaikan dan harus mengimpor barang modal," kata Sri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement