Senin 02 Jul 2018 19:39 WIB

Ditjen Pajak Sepakati Pertukaran Data dengan AS

Pertukaran laporan per negara adalah bagian dari Aksi BEPS 13.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas melayani wajib pajak.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Petugas melayani wajib pajak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyepakati perjanjian kerja sama pertukaran data perpajakan dengan Amerika Serikat. Dengan kesepatan tersebut, Indonesia dan AS dapat saling bertukar Laporan Per Negara atau Country by Country Report (CbCR) secara periodik sebagai salah satu cara untuk mengurangi risiko penggerusan basis pajak dan pengalihan keuntungan (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS).

Kesepakatan tersebut ditandatangi oleh Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan dan Asisten Deputi Komisioner Internasioan Internal Revenue Service AS Theodore Setzer pada 13 Juni 2018.

Berdasarkan keterangan pers yang diterima pada Senin (2/7), pertukaran Laporan Per Negara adalah bagian dari Aksi BEPS 13 yang merupakan salah satu dari empat aksi minimum. Pertukaran ini wajib diterapkan bagi yurisdiksi yang berkomitmen untuk menerapkan BEPS Project yang dikeluarkan oleh G20 dan OECD.

Secara multilateral, Indonesia telah lebih dulu menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) on CbCR pada 26 Januari 2017. Saat ini, MCAA on CbCR telah ditandatangani oleh 69 (enam puluh sembilan) negara atau yurisdiksi. Sedangkan, jumlah negara yang telah memiliki Qualifying Competent Authority Agreement untuk pertukaran CbCR dengan Indonesia adalah sejumlah 52 negara.

AS bukan termasuk dalam pihak yang menandatangani MCAA on CbCR, sehingga pertukaran Laporan per Negara dengan Amerika Serikat akan dilaksanakan secara bilateral berdasarkan BCAA on CBCR.

Penandatanganan BCAA on CBCR antara Indonesia dan Amerika Serikat dilakukan di sela-sela pelaksanaan pertemuan Global Forum pada 11 hingga 14 Juni 2018 di Vaduz, Liechtenstein.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menilai, kesepakatan tersebut tidak akan banyak memberikan dampak pada peningkatan potensi penerimaan negara.  "Meskipun ini langkah maju, tapi AS kan sejauh ini termasuk negara yang cukup tinggi tingkat kepatuhannya, termasuk perusahaan dan warga negara mereka di negara lain. Bisa jadi tidak terlalu efektif (untuk penerimaan)," kata Yustinus ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (2/7).

Ia mengatakan, Indonesia justru perlu mengejar kesepakatan pertukaran data dengan negara seperti Swiss, Singapura, Hongkong, dan negara-negara yang disebut Tax Haven lainnya. Ini karena menurutnya, negara tersebut sudah dikenal menjadi tempat menyembunyikan penghasilan.

"Kita tak perlu ambisius ingin bikin MoU (Memorandum of Understanding) atau kerja sama dengan banyak negara. Lebih baik fokus ke negara yang dampaknya signifikan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement