Senin 02 Jul 2018 18:45 WIB

Rupiah Melemah, Harga Pakan Ternak Meningkat

Nilai tukar rupiah ditutup melemah pada Senin sore.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Teguh Firmansyah
Pekerja memberi pakan ternak ayam di Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (12/6).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Pekerja memberi pakan ternak ayam di Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (12/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pakan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian mengatakan, kenaikan harga pakan saat ini disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Pakan impor yang dimaksud antara lain adalah bungkil kedelai (soybean meal) dan tepung tulang/daging (meat bone meal). Pada 2017, harga rata-rata bungkil kedelai tahun 2017 sebesar 390 dolar Amerika per metrik ton dan rata-rata harga tahun 2018 sebesar 422 dolar AS per metrik ton atau naik sebesar 8,20 persen.

Namun demikian berdasarkan konfirmasi dari Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) kenaikan harga pakan hanya sekitar 2-3 persen. Hal ini terjadi karena ketatnya persaingan antarprodusen dan masih adanya stok bahan pakan di produsen.

“Komunikasi dan koordinasi antara unsur-unsur Pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, pelaku usaha dan, Asosiasi Produsen Pakan, Asosiasi Peternak Unggas terus dilakukan, untuk menjamin terwujudnya sinergi antar stakeholders pakan, untuk terwujudnya kesejahteraan peternak,” kata Direktur Pakan Ditjen PKH, Sri Widayati, dalam keterangan tertulis, Senin (2/7).

Dalam formulasi pakan, penggunaan bahan pakan lokal masih mendominasi sekitar 65 persen dalam bentuk jagung, dedak, crude palm oil (CPO) dan lain-lain. Sisanya sekitar 35 persen, seperti bungkil kedelai (porsinya 23 persen), tepung tulang/daging dan premiks, masih belum dapat diproduksi di Indonesia karena alasan efisiensi.

Nilai tukar Rupiah yang ditransaksikan antar bank di Jakarta, Senin (2/7) sore, ditutup melemah sebesar 60 poin menjadi Rp 14.390 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.330 per dolar AS. Analis Pasar Uang Bank Mandiri, Rully Arya Wisnubroto di Jakarta, Senin (2/7), mengatakan, depresiasi rupiah masih dominan dipengaruhi faktor eksternal, terutama potensi perang dagang AS dan Cina.

Selain itu, pelemahan Rupiah terhadap dolar AS belum mampu terangkat oleh sentimen domestik. "Memang lebih banyak sentimen global. Sentimen domestik pun kurang bagus," ujar Rully, Senin (2/7).

Baca juga, Rupiah Kembali Melemah Dekati Level Rp 14.400.

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis inflasi Juni 2018 yang tercatat sebesar 0,59 persen. Dengan demikian, laju inflasi pada tahun kalender Januari-Juni 2018 tercatat sebesar 1,90 persen dan inflasi tahun ke tahun (yoy) 3,12 persen. "Inflasi lebih tinggi dari ekspektasi," kata Rully.

Dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) sendiri pada Senin, tercatat nilai tukar rupiah bergerak menguat ke posisi Rp 14.331 dibandingkan posisi sebelumnya Rp 14.404 per dolar AS. Sebelumnya, pada akhir pekan lalu, meski laju suku bunga acuan telah dinaikan sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen.

Kenaikan bertuuntuk meredam pelemahan rupiah lebih dalam, namun tidak banyak berimbas pada pergerakan rupiah yang hanya naik tipis.

Pelaku pasar masih mencermati perkembangan dari potensi terjadinya perang dagang antara AS dan Cina sehingga permintaan akan mata uang safe haven masih lebih besar. Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga acuannya BI 7 Days Reverser Repo Rate sebesar 50 basis poin. Kini suku bunga ditetapkan sebesar 5,25 persen dari sebelumnya 4,75 persen.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement