REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan, tekanan global terus berlangsung. Hal itu dengan ditandai likuiditas global yang mengetat serta ketidakpastian pasar keuangan tetap tinggi, di tengah kenaikan pertumbuhan ekonomi global 2018 yang diprakirakan terus berlanjut.
Pertumbuhan ekonomi global 2018 diperkirakan tetap mencapai 3,9 persen, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,8 persen. Hal itu didorong berlanjutnya akselerasi ekonomi Amerika Serikat (AS), masih kuatnya pertumbuhan ekonomi Eropa, serta tetap tingginya pertumbuhan ekonomi Cina.
"Prospek pemulihan ekonomi global yang membaik meningkatkan volume perdagangan dunia, yang kemudian berdampak pada harga komoditas yang tetap kuat. Hanya, pada saat sama, kondisi likuiditas global mengetat dan ketidakpastian pasar keuangan global masih tinggi dipicu oleh prakiraan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang lebih agresif setelah FOMC (Federal Open Market Committee) Juni 2018 dan volatilitas imbal hasil surat utang AS yang masih tinggi," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di gedung BI, Jakarta, Jumat, (29/6).
Dirinya menuturkan, ketidakpastian global yang masih tinggi juga dipengaruhi kebijakan Bank Sentral Uni Eropa (ECB) yang menurunkan net pembelian aset, kebijakan Bank Sentral Cina (PBoC) yang menurunkan GWM, ditambah harga minyak yang naik, serta ketegangan hubungan dagang AS-Cina yang kembali meningkat.
"Ketidakpastian tersebut pada gilirannya memicu penguatan mata uang dolar secara global dan memicu pembalikan modal dari negara berkembang. Dengan begitu memperlemah mata uang banyak negara, termasuk rupiah," kata Perry.
Kondisi itu, kata dia, memerlukan respons kebijakan tepat untuk memelihara imbal hasil pasar keuangan di negara berkembang agar tetap menarik bagi investor.
BI mencatat, nilai tukar rupiah pada Juni 2018 mendapat tekanan, terutama sejak pertengahan bulan. Hal itu dipicu penguatan dolar AS yang terjadi dalam skala global.
Nilai tukar rupiah sempat berada dalam tren menguat sampai pertengahan Juni 2018. Bahkan, sempat tercatat Rp 13.853 per dolar AS pada 6 Juni 2018 sebagai respons batas kebijakan pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve Bank Indonesia pada akhir Mei 2018.
Namun, kata Perry, perubahan stance kebijakan the Fed pada FOMC pertengahan Juni 2018 lebih agresif. Didukung respons kebijakan bank sentral lain yang berubah, khususnya bank sentral Uni Eropa dan Cina, serta ketidakpastian pasar keuangan global yang kembali meningkat, memicu pelemahan hampir seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah.
Pada 28 Juni 2018, kurs rupiah tercatat di posisi Rp 14.390 per dolar AS. Angka itu melemah 3,44 persen (PTP) dibandingkan level akhir Mei 2018.
Sementara itu, dibandingkan dengan akhir Desember 2017, rupiah melemah 5,72 persen year to date (YTD), lebih rendah dibandingkan pelemahan mata uang negara berkembang lainnya seperti Filipina, India, Afrika Selatan, Brasil, serta Turki.
"Ke depan, Bank Indonesia terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya. Bank Indonesia juga menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan," kata Perry menegaskan.