Jumat 29 Jun 2018 10:24 WIB

Menjaga Semangat Petani Lada

Stabilitas harga lada bisa terwujud dengan menyeimbangkan demmand and supply.

Hardan (52 tahun), seorang pemetik lada di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Harga lada yang terus anjlok membuat penghasilannya ikut menurun.
Foto: Muhammad Hafil/Republika
Hardan (52 tahun), seorang pemetik lada di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Harga lada yang terus anjlok membuat penghasilannya ikut menurun.

REPUBLIKA.CO.ID,  PANGKAL PINANG -- Harga lada yang semakin menurun dikhawatirkan membuat petani dan pemetik lada kehilangan semangat. Sehingga, petani tak lagi berminat menanam lada di lahannya dan pemetik tak lagi mau bekerja di perkebunan lada.

Hardan (52 tahun), seorang pemetik lada di perkebunan lada milik PT Soll Marina Agro Industri di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung,  mengatakan, berencana untuk tak lagi memetik lada. Rencananya, ia akan pindah bekerja ke perkebunan kelapa sawit.

Hal tersebut lantaran harga lada yang terus menurun belakangan ini. Sebagai contoh, pada 2016 lalu, harga lada per kilogramnya di angka Rp 170 ribu. Dia mendapat upah untuk setiap lada yang dipetik per kilogramnya seharga Rp 2.000.

Namun sekarang, harga lada di angka Rp 50 ribu hingga Rp 55 ribu. Sehingga, untuk setiap kilogram lada yang dia petik hanya dihargai Rp 1.300. "Ya, kebutuhan kita kan juga banyak. Rasanya tak cukup," kata Hardan, Rabu (27/6).

Menurutnya, sudah banyak teman-temannya yang berprofesi sebagai pemetik lada sudah pindah bekerja di perkebunan kepala sawit atau menjadi penambang timah. Ini lantaran upah bekerja di kedua komoditas itu lebih besar dibanding lada.

Gunadi, staf operasional PT Soll Marina mengakui, petani dan pemetik lada sudah banyak yang beralih ke komoditas lain. Petani yang memiliki lahan mengalihkan lahan yang dimiliki untuk dijadikan perkebunan sawit dan pemetik pindah bekerja di perkebunan lain.

"Kalau seperti ini terus, imbasnya ke depan lada akan semakin sulit ditemukan," kata Gunadi.

Menurutnya, dengan kondisi harga yang anjlok tersebut, banyak hasil lada yang disimpan. Karena, lada sendiri bisa bertahan hingga 10 tahun asalkan kondisinya tetap kering.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi mengakui harga lada yang turun menjadi masalah. Dedi mencontohkan, pada Mei 2018, harga lada putih Muntok di bawah Rp 65 ribu. Sementara itu, pada awal tahun harganya mencapai Rp 90 ribu.

"Kondisi ini dikhawatirkan menghalangi keinginan petani untuk membudidayakan dan memelihara lada sebagai potensi pertanian," kata Dedi.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengampanyekan gerakan kebangkitan kejayaan rempah pada 2018 ini. Di antara upayanya adalah melakukan peremajaan serta mendorong masyarakat untuk mengonsumsi lada, meningkatkan produksi lada, dan mempromosikan lada.

"Pada 15 mei lalu, Dirjen Perkebunan bersama dengan sembilan gubernur provinsi berkumpul di Bangka untuk mendukung produksi lada di daerahnya masing-masing," kata Dedi.

Asisten Deputi Perkebunan dan Holtikultura Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Wilistra Danny, mengatakan, permintaan (demand) lada selalu ada. Sekarang, yang harus diperhatikan adalah bagaimana kita selaku produsen lada menyeimbangkan antara demand and supply (penyedia) lada.

"Jadi secara sederhana kita tahu, jika supply berlebih dari demand maka harga jatuh. Tapi jika demand berlebih tapi supply menurun maka harga naik. Nah, kita selaku produsen harus bisa melihat demand itu. Ketika demand berkurang jangan over supply karena nanti harga jatuh," kata Wilistra.

Selain itu, lanjut Wilistra, petani harus didorong memiliki visi korporasi. Misalnya, petani langsung dimitrakan dengan industri, kemudian dikenalkan ke pasar, dan mengelola keuangannya.

"Dengan begitu petani akan tahu yang dibutuhkan adalah lada yang berkualitas. Karena dengan lada yang berkualitas, di pasar akan dihargai lebih baik," kata Wilistra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement