Kamis 28 Jun 2018 05:54 WIB

Bos Raksasa Energi Dunia Khawatirkan Dampak Perang Dagang AS

AS sedang melancarkan perang dagang dengan Cina dan negara Uni Eropa

Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemimpin dua perusahaan energi terbesar dunia Chevron dan Exxon mengatakan pada Selasa (26/6) bahwa mereka khawatir konflik perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lainnya bisa mengganggu stabilitas ekonomi global. Saat ini AS sedang melancarkan perang dagang dengan Cina dan negara Uni Eropa.

Presiden AS Donald Trump dalam beberapa bulan terakhir memberlakukan tarif untuk impor baja, aluminium, dan impor lainnya, langkah-langkah yang telah mengakibatkan tindakan pembalasan terhadap hasil pertanian, sepeda motor, dan produk lainnya di AS, termasuk minyak bumi.

Hal itu telah memicu kekhawatiran di antara Chevron Corp, Exxon Mobil Corp serta produsen minyak dan gas alam utama lainnya bahwa tindakan Trump dapat membahayakan hubungan dengan beberapa pelanggan terbesar mereka, termasuk Cina dan Uni Eropa.

Amerika Serikat, penghasil gas alam terbesar dunia, telah mulai mengekspor lebih banyak bahan bakar, bagian dari pendekatan Trump terhadap diplomasi energi. Tetapi tarif bisa melemahkan rencana itu.

"Risiko perang dagang mulai membebani persepsi orang tentang pertumbuhan ekonomi di masa depan," kata Kepala Eksekutif Chevron Mike Wirth pada Konferensi Gas Dunia di Washington.

"Hal-hal ini berisiko menjadi hambatan dalam pertumbuhan," ujarnya menambahkan.

Chevron, ungkap Wirth, mencoba membeli baja untuk jaringan pipa dan peralatan lainnya dari manufaktur AS, tetapi tidak selalu dapat melakukannya.

Sementara itu Darren Woods, CEO Exxon, mengatakan perusahaannya sedang mencoba untuk menjaga "suara berkepala dingin" seputar tarif. "Dunia telah dilayani dengan sangat baik dengan tarif rendah dan perdagangan bebas," kata Woods. "Dengan tarif, Anda berisiko membuat beberapa proyek menjadi kurang menarik."

Kedua perusahaan tersebut merupakan produsen gas alam utama di Amerika Serikat, dengan Chevron berfokus terutama pada shale (serpih) Marcellus di Pennsylvania dan Exxon pada shale Eagle Ford di Texas.

Kedua eksekutif, yang muncul bersama di panel konferensi, berpendapat bahwa gas alam adalah cara terbaik untuk membantu mengurangi emisi gas rumah kaca global dan juga meningkatkan ketersediaan tenaga listrik di seluruh dunia negara-negara berkembang.

Gas alam telah selama beberapa tahun menikmati sebutan sebagai "bahan bakar jembatan" yang menjauh dari hidrokarbon menuju energi terbarukan. Pandangan ini telah diserang baru-baru ini oleh para pencinta lingkungan, sesuatu yang dipicu oleh kedua CEO tersebut.

"Energi terbarukan sangat bagus, tetapi Anda membutuhkan lampu dan tenaga listrik dan pendingin udara sepanjang waktu," kata Wirth, yang menjadi CEO Chevron awal tahun ini. "Kamu harus memiliki bauran (energi)."

Gas alam, kata Woods, "sebagai bahan bakar masa depan adalah bagian dari solusi untuk perubahan iklim."

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement