Selasa 26 Jun 2018 18:44 WIB

Defisit Dagang RI-Cina Rp 114 Triliun

Impor dari Cina didominasi produk elektronik

Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (20/6).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (20/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cina masih menjadi negara mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Cina menyumbang nilai ekspor dan impor tertinggi bagi Indonesia selama periode Januari-Mei 2018. Sayangnya, nilai impor dari Cina lebih besar daripada ekspor sehingga Indonesia mengalami defisit dagang dengan Negeri Tirai Bambu itu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit neraca dagang Indonesia dengan Cina sebesar 8,1 miliar dolar AS pada Januari-Mei 2018. Jika dirupiahkan, nominalnya sekitar Rp 114,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.153 per dolar AS). Jumlah defisit tersebut meningkat dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar 5,8 miliar dolar AS.

Kepala BPS Suhariyanto memaparkan, Cina masih mendominasi pangsa ekspor maupun impor nonmigas Indonesia pada lima bulan pertama tahun ini. Impor asal Cina mencapai 18,36 miliar dolar AS atau 27,87 persen dari total impor nonmigas. "Impor dari Cina didominasi produk laptop dan TV LCD," kata Suhari yanto dalam konferensi pers kinerja ekspor dan impor di kantor pusat BPS, Jakarta, Senin (25/6).

Besarnya nilai impor dari Cina tidak sebanding dengan ekspor. BPS mencatat, ekspor ke Cina sebesar 10,25 miliar dolar AS. Jumlah tersebut mencapai 15,05 persen dari total ekspor nonmigas.

Cina merupakan negara penyumbang defisit terbesar bagi Indonesia. Setelah Cina, defisit dagang RI berasal dari Thailand dengan nilai 2 miliar dolar AS dan Australia 1 miliar dolar AS.

Meski begitu, Indonesia mampu memenangi perdagangan dengan sejumlah negara, antara lain dengan Amerika Serikat yang surplus 3,5 miliar dolar AS sepanjang Januari hingga Mei 2018. Pada periode sama tahun lalu, surplus dagang dengan AS lebih tinggi, yakni sebesar 4 miliar dolar AS. Indonesia juga mengalami surplus dagang dengan India sebesar 3,3 miliar dolar AS dan Belanda sebesar 1,2 miliar dolar AS.

Suhariyanto menambahkan, isu perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina tidak memengaruhi kinerja perdagangan Indonesia. Buktinya, kinerja ekspor kedua negara tersebut masih menunjukkan tren positif. "Ekspor ke Cina dan AS masih meningkat," katanya.

Ia menjelaskan, ekspor Indonesia selama Januari hingga Mei 2018 adalah sebesar 74,93 miliar dolar AS atau tumbuh 9,65 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Pada periode tersebut, nilai ekspor Indonesia ke Cina naik dari 7,8 miliar dolar AS menjadi 10,25 miliar dolar AS.

Ekspor ke Cina mendominasi pangsa ekspor Indonesia sebesar 15,05 persen. Sementara, ekspor ke AS naik dari 7,17 miliar dolar AS ke 7,43 miliar dolar AS dengan porsi sebesar 10,91 persen.

Secara keseluruhan, kinerja ekspor Indonesia pada Mei 2018 juga masih bertumbuh. Ekspor pada Mei 2018 tercatat sebesar 16,12 miliar dolar AS, naik 10,9 persen secara bulanan (mtm) dan dan 12,47 persen secara tahunan (yoy).

Sektor pertanian menyumbang ekspor sebesar 0,31 miliar dolar AS atau naik 3,65 persen secara bulanan, tetapi turun 1,78 persen secara tahunan. Ekspor dari sektor industri manufaktur 11,74 miliar dolar AS atau naik 9,9 persen (mtm) dan naik 8,98 persen (yoy). Ekspor pertambangan 2,5 miliar dolar AS atau naik 7,01 persen (mtm) dan naik 28 persen (yoy). "Kita berharap ekspor bisa terus meningkat supaya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Suhariyanto.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah dalam jangka pendek berfokus menggenjot penerimaan devisa dari ekspor dan pariwisata. Langkah itu guna mengurangi defisit neraca perdagangan yang sepanjang tahun ini terus melebar. "Kita akan mendukung kegiatan ekonomi yang menghasilkan devisa ekspor dan pariwisata," kata Sri di Jakarta.

Ia mengatakan, komposisi impor Indonesia cukup sehat karena untuk menunjang sektor produksi. Sebab, nilai impor pada Januari-Mei 2018 masih didominasi golongan bahan baku sebesar 74,53 persen, barang modal 16,25 persen, dan barang konsumsi 9,22 persen.

Oleh karena itu, menurut Sri, pemerintah tidak bisa menekan laju impor yang tumbuh 28,12 persen (yoy) pada Mei 2018. "Kalau menurunkan impor, bisa menekan pertumbuhan ekonomi," kata Sri.

Sri menilai sektor pariwisata dan ekspor dapat menjadi jawaban untuk mengurangi defisit sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka menengah dan panjang, kata Sri, pemerintah akan meningkatkan produksi bahan baku di dalam negeri. ¦Ahmad Fikri Noor ed: satria kartika yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement