REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Asian Development Bank (ADB) Insitute Eric Sugandi memperkirakan neraca perdagangan Indonesia akan kembali mengalami defisit sebesar 611 juta dolar AS pada Mei 2018. Angka itu lebih kecil dari defisit pada April 2018 yang sebesar 1,62 miliar dolar AS.
"Total ekspor Indonesia diperkirakan naik 5 persen (year on year/yoy) dan total impor naik 13,8 persen (yoy). Total neraca dagang terjadi defisit sebesar 611 juta dolar AS," kata Eric ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (25/6).
Ia menjelaskan, impor Mei 2018 meningkat akibat impor barang konsumsi untuk kebutuhan selama Ramadhan. Sementara, ekspor mengalami kenaikan terutama didorong kenaikan harga minyak dunia namun tidak sebesar kenaikan impor.
Hal itu serupa dengan jajak pendapat yang dilakukan Reuters. Dikutip dari Nasdaq pada Jumat (22/6), 10 ekonom meyakini akan terjadi defisit neraca dagang sebesar 380 juta dolar AS pada Mei 2018. Angka itu lebih kecil dari defisit pada April 2018 yang sebesar 1,62 miliar dolar AS dan menjadi defisit terbesar dalam empat tahun terakhir.
Ekspor Indonesia bulan Mei diperkirakan akan mengalami pertumbuhan 8,38 persen secara tahunan (year on year/yoy). Hal itu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekspor April 2018 yang sebesar 9,01 persen.
Sementara, impor diperkirakan akan melambat menjadi 13,88 persen (yoy) pada Mei 2018. Hal itu jauh lebih rendah dibandingkan kenaikan 34,68 persen (yoy) pada April 2018.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku pemerintah berfokus untuk membenahi defisit neraca perdagangan yang terjadi sepanjang 2018. Hal itu ia sampaikan terkait dengan risiko imbas perang dagang terhadap Indonesia.
"Perang dagang itu antara negara-negara besar, imbasnya bisa negatif, bisa positif. Indonesia akan lebih banyak menyiapkan urusannya sendiri. Sejak dua sampai tiga bulan lalu kurs terganggu kemudian neraca perdagangan kita masih negatif," kata Darmin di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Kamis (21/6).
Ia menjelaskan, impor dalam beberapa waktu terakhir meningkat tajam karena dipengaruhi oleh persiapan lebaran. Selain itu, ekspor juga mengalami perlambatan terutama karena kebijakan negara tertentu seperti India yang mengenakan bea masuk tinggi kepada produk minyak kelapa sawit.
"Perdana Menteri India (Narendra Modi) sudah datang ke sini beberapa pekan lalu dan Presiden (Joko Widodo) sudah menitip tolong diperhatikan bahwa kita punya kerja sama perdagangan. Masa kita dikenakan bea masuk yang tinggi?" kata Darmin.