Jumat 22 Jun 2018 15:05 WIB

BI: Pelemahan Rupiah Bisa Dimaklumi

BI akan konsisten menerapkan kebijakan moneter antisipatif.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan keterangan pers di kantor pusat BI, Jakarta, Jumat (8/6).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan keterangan pers di kantor pusat BI, Jakarta, Jumat (8/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia memandang pelemahan nilai rupiah setelah libur panjang Lebaran 2018 masih dapat dimaklumi karena kencangnya tekanan pasar keuangan menyusul ekspektasi empat kali kenaikan suku bunga The Federal Reserve.

"Selain itu, rupiah juga tertekan oleh arah kebijakan normalisasi Bank Sentral Eropa," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di Jakarta, Jumat (22/6).

Ia mengatakan rupiah sejak awal tahun hingga saat ini melemah 2,3 persen (year to date/ytd). Namun dalam perdagangan satu hari setelah libur panjang Lebaran, memang tekanan terhadap nilai rupiah diakui mengencang.

"Selama libur itu terjadi kenaikan mata uang global. Semua mata uang juga melemah, jadi tidak usah kaget," ujar dia.

Sejak pembukaan perdagangan Rabu (20/6) dan Kamis (21/6), usai libur panjang pasar karena Idul Fitri, nilai rupiah menunjukkan tren depresiatif. Namun, dalam transaksi antarbank Jumat pagi ini, rupiah menunjukkan apresiasi tipis menjadi Rp 14.100 per dolar AS dibandingkan pada posisi sebelumnya Rp 14.102 per dolar AS.

Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) yang diumumkan BI, Jumat ini, mencatat rupiah depresiatif hingga Rp 14.102 per dolar AS, atau turun 12 poin dibanding Kamis, yakni Rp 14.090 per dolar AS.

Perry menganggap pelemahan rupiah masih wajar karena level depresiasinya tidak lebih dalam dibanding negara-negara emerging markets lain. Dari sisi fundamental ekonomi domestik pelemahan rupiah juga tidak diikuti indikator stabilitas ekonomi lain. Inflasi sampai dengan saat ini yang masih terjaga di bias bawah kisaran tiga persen.

Perry menekankan Bank Sentral akan konsisten menerapkan kebijakan moneter antisipatif (pre-emptive), dan yang bersifat lebih mendahului (ahead of the curve) untuk menghadapi tekanan terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. "BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead of the curve. Dengan begitu, stabilitas tetap bisa terjaga dan pertumbuhan ekonomi tetap naik, serta berdampak ke investor luar negeri dan membuat aset di pasar keuangan Indonesia menarik," katanya.

Bank Sentral juga kembali menekankan kebijakan lanjutan yang akan diambil dapat berupa kenaikan suku bunga acuan untuk yang ketiga kali tahun ini, dan pelonggaran pemberian pinjaman untuk perumahan (Loan to Value/LTV). Sebelumnya, The Fed pada 13 Juni 2018 telah menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2,0 persen. Sedangkan Bank Sentral Eropa menahan bunga acuan, namun akan mulai mengurangi pembelian obligasi pada September 2018 dan menghentikan pembelian pada Desember 2018.

Baca juga: Mengapa Rupiah Kembali 'Loyo'?

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement