Selasa 05 Jun 2018 16:30 WIB

Komisi XI dan Pemerintah Sepakati Pertumbuhan 5,2-5,6 Persen

Asumsi pertumbuhan lebih kecil dari yang diajukan pemerintah 5,4-5,8 persen.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Teguh Firmansyah
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi XI DPR RI dan pemerintah menyepakati asumsi pertumbuhan ekonomi 2019 berkisar 5,2 hingga 5,6 persen. Hal itu lebih kecil dari asumsi yang diajukan pemerintah yakni sebesar 5,4 hingga 5,8 persen.

"Jadi bisa disetujui ya 5,2 sampai 5,6 persen," kata Ketua Komisi XI Melchias Markus Mekeng dalam rapat kerja dengan pemerintah di kompleks parlemen, Jakarta pada Selasa (4/6).

Dalam pembahasan, sejumlah anggota Komisi XI menawarkan kisaran asumsi yang lebih pesimis dari pemerintah. Anggota Komisi XI dari fraksi PKS Refrizal menawarkan kisaran 5,1 hingga 5,4 persen.

Anggota Komisi XI dari fraksi Partai Demokrat Evi Zainal Abidin menawarkan kisaran pertumbuhan ekonomi dengan titik paling pesimis 5,2 persen. Ia menilai, pertumbuhan ekonomi pada 2019 masih akan mengalami tekanan seperti tahun ini.

Sementara, anggota Komisi XI dari fraksi PDIP Hendrawan Supratikno menawarkan kisaran pertumbuhan ekonomi 5,3 hingga 5,7 persen pada 2019. Ia memilih kisaran yang lebih optimis dengan alasan pemerintah menawarkan asumsi dengan berbekal data yang kuat.

Selain menyepakati asumsi pertumbuhan ekonomi, rapat kerja tersebut juga menyepakati asumsi makro lainnya yakni inflasi sebesar 2,5 hingga 4,5 persen. Selain itu, asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berkisar Rp 13.700 sampai Rp 14 ribu per Dokar AS, suku bunga SPN 3 Bulan sebesar 4,6 hingga 5,2 persen.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) diprediksi pada level 4,8 hingga 5,2 persen, tingkat kemiskinan 8,5 hingga 9,5 persen, rasio gini 0,38 hingga 0,39, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 71,98.

Sementara itu, Menteri ESDM Ignasius Jonan meminta kepada DPR RI untuk mematok asumsi dasar Indonesian Crude Price (ICP) atau harga minyak mentah sebesar 60 hingga 70 dolar per barel dalam RAPBN 2019. Hal ini karena harga minyak dunia yang masih tinggi dan konsumsi masyarakat atas BBM masih sangat tinggi.

Jonan menjelaskan, pergerakan kenaikan ICP sudah terlihat sejak 2016. Pada periode 2016, ICP sebesar 40,13 dolar per barel. Sementara itu, pada 2017 ICP naik menjadi 51,19 dolar per barel. KemudiN, pada 2018 ini ICP sudah menginjak 65,79 dolar per barel. "Melihat pergerakan ini, kami usul ICP dipatok berkisar 60 sampai 70 dolar," ujar Jonan di Kompleks DPR RI, Selasa (5/6).

Jonan juga merujuk pergerakan WTI berdasarkan Short Term Energy Outlook pada 8 Mei 2018 sebesar 60,86 dolar per barel dan minyak Brent berdasarkan polling Reuters Perbankan dan Industri sebesar 66,39 dolar per barel.

Menurut Jonan, kondisi minyak dunia juga dipengaruhi oleh negara-negara produsen minyak yang menyokong pergerakan harga. Selain itu, prediksi pemulihan pertumbuhan ekonomi global akan berdampak pada peningkatan permintaan energi, termasuk minyak mentah dunia.

"Diperkirakan akan terjadi peningkatan pasokan oleh beberapa negara non-OPEC yang memanfaatkan momentum pemangkasan produksi untuk meningkatkan pengeboran dan peningkatan produksi di Amerika Serikat," ujar Jonan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement