Rabu 30 May 2018 18:56 WIB

BI Berlakukan Bias Ketat, Suku Bunga Masih Terbuka Naik

Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan 25 Bps.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Teguh Firmansyah
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur tambahan di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (30/5).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur tambahan di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (30/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bank Indonesia menyatakan sikap kebijakan menjadi 'bias ketat' dari sebelumnya stance kebijakan netral. BI juga menyatakan ruang kenaikan suku bunga acuan BI 7-day reserve repo rate ke depan masih terbuka.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan, dengan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan Tambahan pada Rabu (30/5) maka stance kebijakan Bank Indonesia telah berubah ke bias ketat.

"Belum ketat. Tempo hari kan lebih ke akomodatif, terus menjadi netral dan sekarang cenderung ke bias ketat," kata Perry dalam konferensi pers di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (30/5). 

Belum ada sebulan BI kembali menaikkan suku bungannya dan kini berada di posisi 4,75. Kenaikan tersebut tak terlepas dari tekanan cukup kuat dari luar yang membuat rupiah melemah dan berada di level Rp 14 ribu.

Perry menjelaskan, stance kebijakan bias ketat tersebut berdasarkan pada sejumlah indikator. Pertama, perkiraan inflasi akhir tahun ini sebesar 3,6 persen. Kemudian defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) di bawah 2,5 persen pada akhir tahun. Indikator lainnya, kenaikan suku bunga AS Fed Fund Rate yang diperkirakan tiga kali tahun ini.

Oleh karena itu, Bank Indonesia akan mengalibrasi untuk bulan-bulan yang akan datang dengan melihat berbagai perkembangan seperti inflasi, defisit transaksi berjalan, pertumbuhan ekonomi, kredit dalam negeri maupun indikator luar negeri. Kemudian, BI juga memperhitungkan dampak fiskalnya terhadap imbal hasil surat utang Pemerintah AS atau US treasury bond yeild, dan risiko keuangan global, serta emerging market bond index.

"Ke depan, Bank Indonesia akan terus mengalibrasi perkembangan baik domestik maupun global untuk memanfaatkan masih adanya ruang untuk kenaikan suku bunga secara terukur," ungkapnya.

Perry menambahkan, Bank Indonesia akan memastikan likuiditas rupiah dan valas akan tetap terjaga. Sejumlah penguatan di dalam operasi moneter itu dilakukan, baik dari sisi instrumen maupun frekuensinya. Dari sisi instrumen antara lain terms repo maupun swap terus dibuka. "Dari sisi frekuensinya juga kita tambah, swap lelang tiga kali dalam sepekan," ujarnya.  

Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, menjelaskan, ruang kenaikan suku bunga secara terukur tersebut, paling mudah dengan membandingkan kondisi makro Indonesia pada 2013 dengan perekonomian sekarang.

Keduanya merupakan kondisi yang berbeda. Pada 2013 Indonesia menghadapi taper tantrum. Kebijakan moneter yang dilakukan cukup signifikan karena pertumbuhan kredit di atas 20 persen, dan pemerintah melakukan penyesuian harga BBM sehingga inflasi meningkat pesat. "Sehingga Bank Indonesia melakukan adjustment di suku bunga," jelas Mirza.

Sekarang perekonomian Indonesia baru tahap soft recovery, jadi Bank Indonedia melakukan penyesuaian merespons yang terjadi di eksternal. Faktor eksternal terutama suku bunga AS Fed Fund Rate naik dan masih akan naik terus sampai akhir 2019.

Suku bunga AS diperkirakan menuju 3 persen atau 3,25 persen. Kemudian ada risiko kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS atau US treasury yield. Sekarang imbal hasilnya 3,1 persen, 2,8 persen, kalau defisit AS meningkat bisa saja US treasury naik lebih dari 3 persen. Hal itu akan membuat capital outflow bisa terjadi di Indonesia.

"Oleh sebab itu, kami harus melakukan respons. Respons kebijakan moneternya sifatnya terukur, karena kondisi makro kita bukan dimana pertumbuhan ekonominya tinggi. Pertumbuhan kita masih 5,1 persen, kredit masih tumbuh 7 persen sampai 8 persen, defisit transaksi berjalan juga masih di bawah 2,5 persen," terang Mirza.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement