REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) siap memenuhi permintaan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk merilis data produksi beras menggunakan metode pengumpulan data yang baru, yakni Kerangka Sampel Area (KSA). Diperkirakan, hasil ini akan keluar antara bulan Juni hingga Agustus.
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS, Hermanto menjelaskan, metode KSA sudah diterapkan untuk memperoleh data luas panen seluruh wilayah Indonesia sejak awal tahun. "Sebelumnya, telah kami aplikasikan di Garut dan Indramayu pada 2016, lalu di keseluruhan pulau Jawa pada 2017. Hasilnya oke," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (24/5).
Metodologi ini dibangun atas kerja sama BPS dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolohgi (BPPT) untuk pengumpulan data statistik pertanian yang berbasis teknologi. Hermanto mengklaim, hasil metode baru ini akan lebih efektif dan objektif dibanding dengan eye estimate, metode yang sudah berpuluh-puluh tahun digunakan BPS dalam menghitung produksi padi.
Pengukuran yang lebih objektif dikarenakan pengecekan langsung dilakukan oleh petugas di lapangan. Mereka memantau riwayat pertanaman, mulai dari persiapan tanam, generatif satu dan dua, vegetatif satu dan dua hingga masa panen. Artinya, mereka memonitor perkembangan secara rutin tiap bulan, yaitu di setiap pekan terakhir.
Pengecekan dilakukan di titik koordinat yang sebelumnya sudah ditentukan BPS dan BPPT melalui peta rupa bumi. Jadi, peta ini akan di-overlap dengan peta administratif untuk di-overlay lagi dengan peta lahan baku sawah yang dibentuk untuk membuat kerangka sampel sawah. "Dari kerangka itu, ada namanya segmen bagian yang tiap bulan akan dikunjungi petugas untuk memotret riwayat pertanaman," tutur Hermanto
Dari riwayat tersebut, BPS dapat memperoleh data secara keseluruhan per wilayah tentang berapa luasan yang sedang dalam masa persiapan tanaman, ingin panen dan seterusnya. Dari situ, besaran produksi padi dapat diprediksi.
Metode KSA berbeda dengan perkiraan mata yang hanya mengestimasi sejauh matanya memandang. Cara ini representatif karena petugas terlibat langsung dan memahami budaya pertanaman setempat.
Tapi, seiring dengan dinamika pola pertanian, petani cenderung keluar dari kebiasaan. Mereka menggunakan pupuk dan bibit yang tidak standar lagi. Dampaknya, metode eye estimate dengan beberapa variabelnya menjadi kurang tepat, sehingga dibutuhkan metodelogi yang kekinian.
Dengan metode KSA yang berbasis android, petugas akan lebih bergantung pada teknologi. Semua aspek penilaian dan penghitungan pun sudah terangkum dalam sistem, sehingga tidak dapat dipermainkan lagi.
Tantangan
Meski sudah berjalan sejak dua tahun belakang, Hermanto belum bisa menentukan tingkat akurasi dari KSA. Menurutnya, akurasi ini harus ditentukan melalui alat lain. "Tapi, kami menjamin, cara ini menunjukkan gambaran yang lebih bisa terjamin dan objektif dibandingkan metode terdahulu," ujarnya.
Hermanto mengatakan, salah satu tantangan terbesar dalam metode KSA adalah keamanan petugas di lapangan. Ketika mereka pergi ke sawah di berbagai wilayah di Indonesia, mereka akan menemukan berbagai tantangan. Dari bertemu satwa ular, buaya hingga daerah rawa yang terbilang dalam.
Tapi, tantangan itu hanya ditemui dalam kedatangan pertama ke lapangan, ketika petugas harus mencari koordinat yang sudah ditentukan dari peta citra bumi. "Kalau mereka sudah menemukan trik menuju lokasi, kesulitannya akan berkurang seiring waktu," tutur Hermanto.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memastikan BPS akan merilis metode penelitian yang baru untuk memperbaiki data pangan di Indonesia. JK mengatakan, BPS akan merilis data-data baru terkait pangan yang selama ini dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. "(BPS) sudah sampaikan kepada saya bahwa akan ada data-data yang baru," ujar JK, Selasa (22/5).
Masalah data produksi beras kerap menjadi polemik. Pasalnya, data ini penting untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan beras nasional. Data juga dipakai untuk mengetahui besaran impor yang dibutuhkan.
Berdasarkan hasil audit BPK, ia memaparkan, pada 2016 kebutuhan beras nasional sebanyak 46,142 juta ton. Sementara itu, produksi dalam negeri mencapai 46,188 juta ton. Artinya, ada selisih surplus sebanyak 46 ribu ton.
Namun, pada tahun tersebut pemerintah justru menerbitkan persetujuan impor sebanyak 1.000.200 ton. "Penetapan angka impor tidak sepenuhnya akuntabel," ujar Rizal dalam sebuah forum diskusi yang membahas ketahanan pangan di kantor BPK, Senin (21/5).