Kamis 17 May 2018 13:19 WIB

Ekonom: Ada Harapan Agus Martowardojo Naikkan BI Rate

Pada 2013 lalu, BI pernah mengimplementasikan kebijakan lebih ketat

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo.
Foto: Republika/Rahayu Subekti
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo, yang menyebutkan akan terjadi perubahan kebijakan moneter semakin ketat dinilai tidak biasa. Hal ini dikarenakan Agus akan pensiun pada akhir bulan ini.

Perlu diketahui, Agus Martowardojo baru-baru ini mengatakan, bank sentral akan mempersiapkan kebijakan moneter ketat dan menyesuaikan 7-day reverse repo rate (suku bunga acuan BI). Tujuannya, untuk memprioritaskan stabilitas mata uang terhadap pertumbuhan.

"Bank sentral cenderung menyerahkan pergantian kebijakan kepada gubernur baru. Sekarang kita dapat berharap bahwa bank sentral akan menaikkan 7-day reverse repo rate sebesar 25 bps menjadi 4,50 persen pada 17 Mei," ujar Ekonom Bloomberg Intelligenve Tamara Mast Henderson, melalui keterangan resmi yang diterima Republika, Kamis (17/5).

Ia pun memprediksi, Gubernur BI baru, yakni Perry Warjiyo, akan menaikkan lagi suku bunga acuan pada Juni mendatang. Hal itu, menurutnya merupakan perubahan dalam pandangan fundamental ekonomi.

"FX reserve bank sentral yang masih kuat, dan juga fakta bahwa ini merupakan rapat terakhir (Rapat Dewan Gubernur/RDG) Agus Martowardojo sebagai gubernur BI telah memunculkan anggapan suku bunga tidak akan berubah. Hanya, berdasarkan sinyal dari Agus Martowardojo, sekarang kita bisa berharap, dia akan perketat kebijakan moneter," jelas Tamara. 

Lebih lanjut dirinya menyebutkan, BI telah menghabiskan 6 miliar dolar AS, setelah melakukan penyesuaian valuasi untuk melindungi nilai rupiah tahun ini. "Jadi FX reserve tetap cukup, namun tekanan terhadap nilai rupiah akan tetap ada dan sepertinya bank sentral akan melakukan upaya lebih untuk menstabilkan mata uang dalam negeri," tuturnya. 

Sementara itu, kata dia, ukuran intervensi masih jauh dari 12 miliar dolar AS yang dihabiskan pada 2015, ketika tidak ada kenaikan suku bunga. Masih jauh pula dari 17 miliar dolar AS yang dihabiskan pada 2013, ketika kebijakan tingkat suku bunga dinaikkan sebesar 175 bps. 

"Ada beberapa faktor yang sama seperti 2013, saat bank sentral melakukan intervensi skala besar untuk menstabilkan nilai rupiah dan menaikkan suku bunga. Namun, ada beberapa alasan untuk bertahan di antaranya headline inflation dan core inflation yang rendah, pertumbuhan yang dibawah potensi, dan juga defisit current account dibawah 3 persen PDB," kata Tamara.

Menurutnya, kebijakan lebih ketat diimplementasikan pada 2013 setelah Agus Martowardojo menjabat sebagai gubernur BI. Saat ini pula perbedaan suku bunga dengan Amerika menjadi sangat rendah sejak 2007.

"Hari ini, lagi-lagi perbedaan suku bunga menempati level terendah sejak tahun 2007. Terlebih lagi, perbedaan suku bunga masih ada kemungkinan akan terus mendekat seiring sinyal-sniyal pengetatan dari  Federal Reserve.  Saat perbedaan suku bunga menurun, potensi pengembalian dinilai kurang menarik bagi  investor Amerika untuk  mengambil risiko tambahan," ujarnya. 

Maka, ia menegaskan, berdasarkan pengalaman masa lalu, menaikkan suku bunga tidak terlalu diperlukan. Sepertinya bank sentral lebih memilih untuk mengambil langkah awal sebelum terjadinya momentum negatif.

"Dengan demikian, bank sentral dapat meningkatkan reputasinya dan pada akhirnya tidak perlu banyak mengeluarkan kebijakan menoter yang ketat," kata Tamara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement