Kamis 26 Apr 2018 05:18 WIB

Sistem Surjan Jadi Andalan Petani Rawa

Biaya pembuatan surjan yang cukup mahal memerlukan subsidi dari pemerintah.

Red: EH Ismail
Pertanian dengan sistem surjan.
Foto: Humas Balitbangtan.
Pertanian dengan sistem surjan.

REPUBLIKA.CO.ID, Pernahkah Anda mendengar istilah sistem surjan? Petani di lahan rawa meyakini bahwa sistem ini mampu meningkatkan keuntungan usaha tani, terutama di lahan rawa pasang surut.

Anggota Kelompok Tani Ciptodadi Desa Karang Buah, Kecamatan Belawang, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Wardi mengatakan, selama ini dia sudah menanam jeruk dengan sistem surjan. Dengan populasi 200 pohon per hektare, kini pohon jeruk Wardi sudah berproduksi sekitar 30-60 kilogram per pohon per tahun.

Dalam satu tahun, tanaman jeruk Wardi bisa dipanen dua kali, yaitu panen puncak pada Juli-Agustus dan panen susulan pada Oktober-November. “Sehingga dalam satu tahun bisa menghasilkan sekitar 10 ton per hektare,” kata dia.

Dengan asumsi harga jeruk Rp 5.000/kg, maka dalam satu tahun Wardi dapat menghasilkan sekitar Rp 50 juta. “Itu belum termasuk hasil dari padi yang biasa ditanam dua kali dalam setahun,” ujar Wardi.

Hal serupa dialami anggota Kelompok Tani Sidomuncul Desa Karangbunga, Kecamatan Mandastana, Kabupaten Barito Kuala, Darsono. Menurut Darsono, sistem surjan sangat menguntungkan petani. Sebab, selain panen padi, petani sekaligus bisa melakukan panen jeruk dari lahan yang sama.

Petani lainnya, Sukiran dari Kelompok Tani Marga Rukun,  Desa Simpang Jaya, Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala juga merasakan hal yang sama. “Saya bisa sekolahkan anak di Fakultas Kedokteran Unlam Banjarmasin dari hasil jeruk ini,” kata Sukiran, bangga.

Peneliti pada Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Banjarbaru Ir Koesrini MSi mengatakan, potensi produktivitas padi Inpara yang biasa ditanam petani bisa mencapai 7,5 ton per hektare. Tetapi, hingga saat ini petani baru mampu menghasilkan 4-5 ton/ha gabah kering giling (GKG).

Dengan asumsi harga GKG Rp 5.200/kg dan tiap tahun ditanam dua kali, maka pendapatan petani dari padi sekitar Rp 47 juta. “Dengan demikian, total potensi pendapatan petani dari hasil padi dan jeruk sekitar Rp 97 juta,” ujar Koesrini.

Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Profesor Dedi Nursyamsi mengatakan, sistem surjan merupakan penataan lahan yang memadukan sistem sawah (basah) dan darat (kering).

“Ini sebenarnya merupakan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat rawa, terutama suku Bugis dan Makasar sejak nenek moyang mereka dulu,” kata Dedi.

Dia menjelaskan, teknologi surjan yang berasal dari kearifan lokal masyarakat Banjar terbukti dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan petani di lahan rawa. Karena itu, teknologi surjan akan disebarkan oleh pemerintah yang tengah berupaya memanfaatkan lahan rawa untuk menopang kedaulatan pangan.

“Dengan sistem surjan, kita bisa tanam buah dan sayuran di lahan rawa,” kata Dedi.

Dedi menjelaskan, sistem surjan merupakan penataan lahan yang memadukan sistem basah dan kering secara berdampingan. Teknologi ini merupakan kearifan lokal  masyarakat rawa, seperti Suku Banjar,  Suku bugis, dan Suku Makassar yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.

Para petani transmigran dari Pulau Jawa yang melihat sistem tanam tersebut kemudian menamai cara bercocok taman ini dengan sebutan surjan.

“Mirip dengan pola lurik pada baju surjan yang bergaris-garis, sehingga disebut surjan,” kata Dedi. 

Dia menjelaskan, dengan pola tanam surjan, lahan terlihat bergaris-garis karena petani memperluas lahan pematang yang menjadi daratan. Adapun lahan di bawahnya yang lebih rendah dijadikan sawah. “Di atas surjan petani bisa tanam jeruk dan sayuran. Di bawahnya, padi,” kata Dedi.

Dedi melanjutkan, cara menanam sistem surjan kini diperkaya dengan inovasi teknologi baru hasil Badan Litbang Pertanian. Teknologi tersebut antara lain varietas padi Inpara, jeruk siam, pengelolaan air, ameliorasi, dan pemupukan berimbang.

Peneliti sistem surjan Balittra Ir Yantirina MSi mengatakan, petani dapat menikmati keuntungan sistem surjan yang melimpah. Keuntungannya, antara lain mengurangi risiko gagal panen karena komoditas beragam, diversifikasi pangan, dan meningkatkan pendapatan.

Peneliti Balittra lainnya, Profesor Muhammad Noor mengatakan, salah satu kendala penerapan tanam sistem surjan adalah biaya pembuatan yang cukup mahal bagi petani. Berdasarkan hasil penelitian Yantirina (2017), peneliti Balittra, biaya pembuatan sistem surjan secara manual sekitar Rp 11 juta/ha.

“Karena itu, petani memerlukan subsidi dari pemerintah untuk membuat sistem surjan,” kata Noor. (Yantirina/Balittra/Balitbangtan)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement