Rabu 25 Apr 2018 19:49 WIB

Konsultasi Syariah: Fikih Membayar Pajak

Kewajiban pajak tidak menggugurkan kewajiban zakat bagi kaum Muslimin.

Petugas kantor pelayanan pajak melayani wajib pajak dalam pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) tahun 2016 di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur I, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (21/4).
Foto: Antara/Moch Asim
Petugas kantor pelayanan pajak melayani wajib pajak dalam pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) tahun 2016 di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur I, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (21/4).

REPUBLIKA.CO.ID Diasuh Oleh: Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

 

 

Assalamualaikum wr wb. 

Ustaz, sebagai warga negara wajib pajak, saya membayar pajak atas aset-aset yang saya miliki, seperti tanah, bangunan, dan kendaraan. Bagaimana pandangan fikih terhadap kewajiban pajak ini? Mohon penjelasannya.

Muhammad (Bogor)

 

Waalaikumussalam wr wb.

Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Di antara jenis pajak adalah pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea materai. Salah satu pemanfaatan pajak adalah untuk pembangunan sarana umum, seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, atau puskesmas.

Menurut fikih, otoritas boleh mewajibkan pajak kepada masyarakat dan begitu pula wajib pajak harus menunaikannya sesuai peraturan yang berlaku. Ada beberapa penjelasan terkait hal ini. 

Pertama, jika zakat (dan pemasukan selain pajak) tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan negara, seperti infrastruktur sekolah, puskesmas, dan sarana-sarana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, pajak boleh diberlakukan.

Kedua, otoritas sebagai pihak yang diberikan kuasa oleh masyarakat wajib pajak berkewajiban (sesuai dengan amanah tersebut) untuk menyalurkan pajak sesuai peruntukannya. Hal isi sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang telah memberikan amanah atau kepercayaan kepadamu dan jangan kamu mengkhianati orang-orang yang berkhianat kepadamu.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi). Oleh karena itu, pengelolaan distribusi pajak harus akuntabel dan profesional sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat yang memberikan kuasa dan amanah.

Ketiga, mekanisme pemberlakuan pajak, termasuk besaran dan peruntukannya itu mengacu pada asas kehalalan, keadilan, dan maslahat, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi). Hal ini juga sebagaimana kaidah ushul, “Bahwa mengelola urusan masyarakat harus merujuk pada maslahat mereka.” 

Oleh karena itu, mekanisme pemberlakuan pajak juga mengacu pada asas maslahat dan keadilan agar kebutuhan masyarakat terpenuhi dan memenuhi unsur keadilan.

Keempat, kewajiban pajak tidak menggugurkan kewajiban zakat bagi kaum Muslimin karena zakat dan pajak itu berbeda, baik sumber maupun peruntukannya. Zakat, misalnya, ditujukan untuk kaum Muslimin, seperti fakir, miskin, orang yang terlilit utang, ibnu sabil, mualaf, fi sabilillah, dan amil. Oleh karena itu, dana pajak tidak boleh digabung dengan dana zakat atau sedekah karena pajak untuk seluruh rakyat, sedangkan zakat ditujukan untuk para mustahik yang ditentukan oleh Allah SWT (at-Taubah ayat 60). 

Dalam sirah diceritakan, jika zakat tidak bisa memenuhi kebutuhan negara, maka dialokasikanlah dari sebagian rampasan peperangan yang didapatkan oleh pasukan Muslim ataupun harta yang didapatkan tanpa peperangan dari kaum musyrikin. Pada saat itu, kedua pemasukan tersebut sudah cukup untuk membiayai kebutuhan negara.

Namun, pengeluaran negara saat ini lebih besar dan tidak bisa dipenuhi dengan sumber-sumber tersebut. Atas alasan itu, pajak menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan negara.

Peruntukan di antaranya yaitu menyediakan infrastruktur yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi. Jika pajak menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pajak akan menjadi keniscayaan. Itu sesuai dengan kaidah, “Jika ada satu hal yang tidak bisa ditunaikan karena hal lain maka hal lain tersebut menjadi wajib.” Wallahualam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement