REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) light rail transit (LRT) pada Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Jumardi mencatat, nilai investasi dari pembangunan LRT mencapai Rp 31 triliun. Dana itu tak hanya diperoleh dari APBN, melainkan dari pinjaman oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai operator kereta.
"Dari nilai itu, pemerintah menyuntikkan dana penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 7,6 triliun. Sisanya dicarikan dari pinjaman ke lembaga lain," ujarnya di Cikarang, Selasa (10/4).
Dia mencatat, perkembangan fisik pembangunan LRT sampai 24 November 2017 mencapai 25,212 persen. Perinciannya, lintas pelayanan I Cawang-Cibubur mencapai 44,685 persen, lintas pelayanan II Cawang-Dukuh Atas mencapai 11,458 persen, dan lintas pelayanan III Cawang-Bekasi Timur mencapai 26,360 persen.
"Target kami LRT sudah bisa dioperasikan pada 31 Mei 2019," katanya.
Oleh karena itu, pihak PKK LRT membutuhkan lahan seluas 11 hektare untuk membangun depo LRT atau kereta api ringan sebagai tempat garasi kereta.
"Enam hektare di antaranya milik PT Adhi Karya, namun dikuasai oleh 300 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan lima hektare lagi milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)," kata Jumardi.
Jumardi mengatakan, jika ditotal, ada 14 hektare lahan yang dikuasai masyarakat. Seluruh lahan itu tersebar di empat daerah, yakni Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kota Depok, dan DKI Jakarta.
"Sebanyak 11 hektare ada di Kabupaten Bekasi, sedangkan tiga hektare berada di Kota Bekasi, Kota Depok dan DKI Jakarta," kata dia.
Dalam pembebasan lahan seluas 14 hektare itu, pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 1,6 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN). Rencana pembangunan depo LRT di Kabupaten Bekasi pun, diklaim bertujuan guna melengkapi fasilitas stasiun LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek).