REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan menjelaskan ojek tidak menjadi angkutan umum karena ada dua aspek yang menjadi pertimbangan, yaitu aspek keselamatan dan aspek ekonomi.
"Mengapa secara pribadi saya tidak setuju ojek sebagai angkutan umum, karena pertama dari aspek keselamatan dan kedua aspek ekonomi," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo pada "Pressbackground Deregulasi, Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha, Pemanfaatan Aset, Pelayanan Terpadu Satu Atap" di Kemenhub, Jakarta, Selasa (3/4).
Dari aspek keselamatan, dia menjelaskan, ojek tidak menjamin aspek itu mulai dari hal yang paling dasar, yaitu perlindungan dari cuaca. "Angkutan umum masih melindungi penumpangnya dari badan mobil atau kendaraan itu, kalau ojek kan itu rentan panas dan hujan," ucapnya. Dengan tidak adanya perlindungan dari kendaraan itu sendiri, kata dia, akan sangat berbahaya karena tubuh penumpang bisa berbenturan langsung dengan benda keras, seperti aspal.
Kedua dari aspek ekonomi, Sugihardjo menjelaskan semakin kecil suatu angkutan, maka variabel biaya operasionalnya semakin besar.
"Dalam sistem transportasi, semakin kecil transportasi semakin mahal biayanya, misalnya, PPD Mayasari itu 100, turun lagi metromini 175, mikrolet 350," ujarnya.
Sebagai contoh, dia menjelaskan di Papua harga barang masih mahal karena biaya logistiknya tinggi. Hal itu disebabkan pesawat yang bisa mengangkut hanya pesawat kecil dengan kapasitas terbatas.
"Makanya landasan pacunya diperpanjang agar bisa ada pesawat yang lebih besar masuk," ucapnya.
Dia mengatakan sebagaimana sejak awal, ojek hanya sebagai angkutan komplementer, artinya ketika angkutan umum sudah lewat dari jam operasi.
"Seperti ketika saya waktu muda dulu naik gunung 'kan tidak ada angkutan yang sama pos pendakian, kemudian ketika saya pulang malam tidak ada angkot, naik ojek," katanya.
Namun, kata dia, ketika jumlahnya sudah membeludak tetap harus diatur. Namun, Kemenhub tidak bisa menentukan standar tarif karena tidak ada dalam payung hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
"Mungkin bisa dicari solusinya dari sisi ketenagakerjaan, karena di Kemenhub tidak ada payung hukumnya. Bisa dicari unsur siapa yang memberi upah, siapa yang memberi perintah," ujarnya.