REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, menjelaskan, dampak dari usulan kenaikan dan kesetaraan tarif bawah terhadap transportasi ojek online (ojol) tergantung pada pelayanan penyedia jasa. Jika mereka bisa memberikan pelayanan yang setara dengan tarif, peminat terhadap transportasi dalam jaringan (daring) ini akan tetap ada.
Alasan utama masyarakatmenggunakan jasa ojol adalah harga yang terjangkau dengan pelayanan memudahkan. "Sejauh mana penyedia jasa seperti Gojek, Grab dan Uber bisa memuaskan banyak pihak, kenaikan tarif bawah masih bisa ditoleransi," ujar Aditya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (28/3).
Ratusan pengemudi ojek online (Ojol) melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/3).
Faktor berikutnya adalah kuota ojol di tengah masyarakat. Sesuai dengan hukum pasar di mana permintaan dan penawaran saling terkait, ketersediaan ojol di pasaran harus mengiringi tingkat permintaan masyarakat. Apabila tidak seimbang, maka akan ada salah satu pihak yang merugi, baik itu penumpang, pengemudi atau perusahaan penyedia jasa.
Baca Juga: Patutkah Tarif Bawah Ojek Online Naik?
Untuk kondisi saat ini, Aditya melihat, penawaran semakin mendominasi. Kuantitas ojol dijalanan Indonesia, terutama kota besar, mengalami peningkatan hampir lima kalilipat tiap tahunnya.
"Dampaknya, sesama driver dalam satu perusahaan akan bersaing ketat dalam mendapatkan penumpang, menciptakan atmosfer yang tidak nyaman," ucapnya.
Apabila tidak dibatasi, pasar akan mencapai titik jenuh. Penawaran yang terus melimpah, sedangkan permintaan stagnan menyebabkan persaingan semakin tidak sehat. Berbagai cara, baik legal ataupun ilegal bisa saja dilakukan guna mendapatkan konsumen.
Sebelumya, pada Selasa (27/3), sejumlah sopir ojol melakukan demonstrasi di depan Istana Merdeka. Mereka menuntut adanya kenaikan dan kesetaraan dalam tarif, dari Rp 1.600 per kilometer menjadi Rp 2.500 per kilometer.