Rabu 28 Mar 2018 15:07 WIB

Krisis Ekonomi 10 Tahunan? Ini Kata Boediono

Boediono menegaskan dia tak percaya dengan krisis 10 tahunan.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Andi Nur Aminah
Boediono
Foto: Antara
Boediono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) hari ini (28/3) meluncurkan Buku Laporan Prekonomian Indonesia 2017. Dalam peluncuran buku yang dikemas dengan acara diskusi mengenai perekonomian Indonesia, salah seorang narasumber yaitu Wakil Presiden ke-13, Boediono mengungkapkan pendapatnya mengenai krisis ekonomi dalam siklus 10 tahunan.

Mengenai siklus tersebut, secara historis terjadi krisis pada 1977, 1987, 1998, dan 2008. Jika mengacu pada siklus tersebut, tahun ini disebut-sebut bisa saja kembali terjadi krisis ekonomi.

Meskipun begitu, ternyata Boediono bukan salah seorang yang berpendapat sama. "Kalau krisis 10 tahunan, saya tidak percaya," kata Boediono di Kantor BI, Rabu (28/3).

Dia menjelaskan, untuk membuktikan tahun ini siklus tersebut apakah akan terjadi hanya perlu melihat indikatornya saja. Seandainya benar terjadi krisis, Boediono percaya hal tersebut bukan karena siklus 10 tahunan.

Boediono menilai, jika hal tersebut terjadi pada 2018 berarti karena faktor yang terkait dengan perilaku manusia. "Kalau seandainya terjadi yang pasti bukan karena perilaku alam. Ke depan, barangkali kalau terjadi risiko maka perhatikan sistemiknya," tutur Boediono.

Untuk itu dia menilai, jika adanya krisis ekonomi bukan disebabkan karena siklus tersebut. Boediono menyontohkan pada 1960 merupakan krisis besar yang dialami Indonesia karena terjadi inflasi yang cukup tinggi. Meskipun begitu menurutnya Indonesia bisa mengatasi hal tersebut. "Banyak hal yang bisa dilakukan dari segi fiskal, moneter, reformasi struktural, dan perubahan politik," jelas Boediono.

Pada tahun tersebut, Boediono mengakui krisis yang terjadi murni karena faktor internal. Sebab, kata dia, Indonesia melepaskan prudent policy dalam fiskal dan membiayai suatu proyek yang tidak ada pembiayaan yang aman sehingga terjadi inflasi.

Lalu krisis terbesar kedua pada 1980an, menurut Boediono, hal itu terjadi bukan karena kesalahan internal. "Ini bukan our making karena harga minyak turun, mengacaukan fiskal dan moneter kita," tutur Boediono.

Begitu juga pada 1997 sampai 1998, Indonesia juga mengalami krisis yang sama sekali tidak terduga. Meskipun begitu, Boediono menilai ketika masa tersebutseharusnya Indonesia bisa lebih siap namun ternyata tidak terjadi.

"Karena pada 1997 itu mulanya dari Thailand. Tapi pada 1997 itu kita merasa masih bagus dan Bank Dunia mengatakan pada waktu laporan Juni 1997 mengatakan ekonomi Indonesia masih bagus. Siapa yang mengira Agustus-Dsember makin parah," ungkap Boediono.

Krisis tersebut merupakan kejadian yang ditimbulkan dari faktor eksternal. Boediono mengatakan ketika itu dirinya menjadi anggota Dewan Gubernur BI namun memang terjadi kebingungan untuk melakukan sesuatu. "Bahkan kita kemudian mengundang IMF. Tapi IMF juga pada waktu itu bingung. Kemudian akhirnya kita bisa lepas dari krisis capital account yang kita hadapi. Ini yang kemudian mengakibatkan kita terpuruk selama enam tahun," jelas Boediono.

Baru pada 2004, lanjut dia, Indonesia bisa kembali merangkak naik. Kala itu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dulunya minus 13 persen pada 1998, merangkak naik menjadi empat persen pada 2004. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement