Selasa 27 Mar 2018 19:04 WIB

Alasan Fraksi PDIP Tolak Raperda Konversi Bank NTB Syariah

Fraksi PDIP mau menerima Perda itu asalkan konversi dilakukan paling lambat 2023.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Budi Raharjo
Bank NTB
Foto: www.bankntb.co.id
Bank NTB

REPUBLIKA.CO.ID,MATARAM -- Fraksi PDIP di DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) menolak disahkannya Perda Konversi Bank NTB menjadi Bank NTB Syariah. Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) I tentang rancangan peraturan daerah (raperda) konversi Bank NTB menjadi Bank NTB Syariah Ruslan Turmuzi mengatakan, Fraksi PDIP NTB sejatinya setuju dengan langkah konversi itu.

Asalkan konversi itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Pada intinya kita (Fraksi PDIP NTB) setuju semua itu, tapi itu paling lambat 2023 konversinya," ujar Anggota Komisi IV DPRD NTB dari Fraksi PDIP NTB itu saat dihubungi Republika di Mataram, NTB, Selasa (27/3).

Raperda konversi Bank NTB Syariah telah ditetapkan menjadi peraturan daerah (Perda) dalam rapat paripurna di Gedung DPRD NTB, Jalan Udayana, Kota Mataram, NTB, pada Senin (26/3). PDIP menjadi satu-satunya fraksi dari 10 fraksi di DPRD NTB yang tidak menyetujui Perda itu.

Bagi Ruslan, Fraksi PDIP NTB pada dasarnya mendukung dan baru bisa direalisasikan paling lambat pada 2023 mengingat rumitnya proses konversi. Proses raperda yang sudah diketok ini terkesan dipaksakan dan terburu buru.

Mengenai keputusan ini, kata Ruslan, Fraksi PDIP NTB sudah menyampaikan sejumlah masukan terkait beberapa poin yang harus diperbaiki sebelum disahkan. "Kalau kita sudah sampaikan bahwa dia (konversi) tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentunya sampai di situ," ucap Ruslan.

Ruslan menjelaskan sejumlah poin yang menjadi sorotan, terkait penyetoran modal dan kepemilikan saham. Lima poin yang menjadi sorotan Fraksi PDIP, kata Ruslan, pertama, raperda ini belum memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu PP nomor 7 tahun 2016 tentang perubahan modal dasar perseroan terbatas Pasal 2 ayat 1, bahwa paling sedikit 25 persen harus ditempatkan dan disetor penuh dibuktikan bukti penyetoran yang sah.

Kedua, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Badan Usaha Milik Daerah pada pasal 139 ayat 2 bertentangan dengan raperda Bab IV Kepemilikan Saham Pasal 9 ayat 2 tentang komposisi kepemilikan saham pemegang saham pengendali (PSP) sebesar 51 persen.

Poin ketiga, untuk memenuhi kewajiban pemenuhan modal 51 persen sebagai Saham Pemegang Saham Pengendali, Pemerintah Provinsi NTB wajib menyetor Rp 350,88 miliar. Sementara yang sudah disetor baru Rp 314 miliar atau setara dengan 45,6 persen sesuai informasi laporan secara elektronik Kemendagri dengan demikian masih ada kekurangan Rp 36 miliar. Berarti unsur pasal 9 ayat 2 raperda belum terpenuhi.

Keempat, perpanjangan masa jabatan direksi Bank NTB oleh RUPS bertentangan dengan Akte Pendirian Anggaran Dasar PT Bank NTB Tanggal 30 April 1999 pasal 11 huruf b Tentang Persyaratan Khusus Angka 3. Isinya menyebutkan "Para anggota direksi diangkat oleh RUPS dengan memperhatikan pertimbangan dari Bank Indonesia/Otoritas Jasa Keuangan.

Bahwa masa jabatan direksi selama lamanya 4 tahun dan dapat diangkat kembali untuk jabatan kedua kalinya apabila mempunyai prestasi yang baik yang dibuktikan dengan Tingkat Kesehatan Bank sesuai ketentuan yang berlaku, dengan tidak mengurangi Hak RUPS untuk memberhentikan sewaktu waktu. Hal tersebut juga sesuai dengan surat OJK tanggal 6 November 2017 yang menyatakan bahwa perpanjangan direksi Bank memiliki potensi Resiko Hukum.

"Terakhir, tidak menyetujui raperda tentang konversi Bank NTB menjadi Bank NTB Syariah ini karena belum memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan perundang undangan di atas," kata Ruslan menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement