REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan disiplin fiskal yang secara konsisten dilakukan selama bertahun-tahun bukan berarti menjadikan pemerintah alergi kepada penarikan utang.
"Disiplin fiskal tidak berarti kita menjadi ketakutan dan panik, atau bahkan menjadi alergi terhadap instrumen utang," kata Sri Mulyani dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (24/3) malam.
Sri Mulyani mengatakan, instrumen utang harus tetap dijaga sebagai salah satu kebijakan dalam mencapai tujuan pembangunan serta bersinergi dengan penerimaan perpajakan dan kebijakan lainnya."Semua instrumen kebijakan tersebut sama pentingnya dalam pencapaian tujuan pembangunan, mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keadilan," ujarnya.
Untuk itu, ia meminta semua pihak untuk tidak mengkhawatirkan pengelolaan utang pemerintah yang sudah dilakukan dengan hati-hati sesuai dengan tata kelola APBN yang selama ini berlaku.
Pemerintah, tambah Sri Mulyani, juga sudah melaksanakan disiplin fiskal dengan menjaga rasio utang terhadap PDB tidak melebihi batas yang diperkenankan dalam Undang-Undang."Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang memiliki Undang-Undang yang menjaga disiplin dari pelaksanaan APBN dan konsisten melaksanakannya," katanya.
Menurut dia, hal tersebut sangat penting dalam pengelolaan utang karena beberapa negara yang mempunyai regulasi serupa justru telah melanggar batas disiplin fiskal tersebut. "Beberapa negara yang memiliki legislasi untuk menjaga disiplin fiskal seperti Eropa Barat dan Brasil, telah beberapa tahun melanggar disiplin aturan mereka," ujar Sri Mulyani.
Oleh karena itu, usulan untuk menjaga disiplin fiskal agar pengelolaan utang pemerintah tidak terganggu merupakan hal yang baik guna menjaga reputasi maupun kredibilitas ekonomi Indonesia.
"Perhatian dan keinginan berbagai partai politik dan ekonom agar Indonesia terus menjaga disiplin fiskal adalah positif dan baik bagi reputasi serta kredibilitas ekonomi," kata Sri Mulyani.
Disiplin fiskal yang dilakukan pemerintah telah terlihat dari menurunnya imbal hasil Surat Utang Negara berjangka waktu 10 tahun dari 7,93 persen pada Desember 2016, menjadi 6,63 persen pada pertengahan Maret 2018.
Prestasi ini merupakan hal yang tidak mudah dilakukan, mengingat Bank Sentral AS (The Fed) melaksanakan kenaikan suku bunga pada akhir 2016 yang dilanjutkan dengan hal serupa selama tiga kali pada 2017.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat bahwa kemampuan pemerintah untuk membayar utang masih kuat, apalagi rasio utang terhadap PDB berada pada kisaran 29,24 persen.
Baca juga, Kenaikan Utang Indonesia ke Cina dari Tahun ke Tahun.
Rasio utang ini masih lebih kecil daripada dengan negara-negara yang memiliki tingkat ekonomi setara, seperti Vietnam sebesar 63,4 persen, Thailand 41,8 persen, Malaysia 52,7 persen, dan Brasil 81,2 persen.
Dari total utang pemerintah sebesar Rp4.034,8 triliun per akhir Februari 2018, sebagian besar utang itu didominasi oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.257,26 triliun atau 80,73 persen dari total utang pemerintah.
Penerbitan SBN itu sekitar Rp2.359,47 triliun atau 62,62 persen diterbitkan dalam denominasi rupiah serta dalam denominasi valas sebesar Rp897,78 triliun atau 18,11 persen.
Selain penerbitan SBN, pembiayaan utang tersebut juga berasal dari pinjaman luar negeri pemerintah dengan porsi mencapai Rp777,54 triliun atau 19,27 persen.