Rabu 14 Mar 2018 18:48 WIB

Keuangan tidak Sehat, Holding Migas Berpotensi Merugi

Sebaiknya dilakukan audit khusus sebelum membentuk holding migas.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Indira Rezkisari
Anggota DPR Rieke Diah Pitaloka memberikan keterangan saat menjadi saksi ahli dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) Perkara Kasasi Mahkamah Agung tekait PHK sepihak pegawai oleh Pelindo II, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (16/10).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Anggota DPR Rieke Diah Pitaloka memberikan keterangan saat menjadi saksi ahli dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) Perkara Kasasi Mahkamah Agung tekait PHK sepihak pegawai oleh Pelindo II, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (16/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, menilai pembentukan holding migas masih terburu buru. Ia menilai masih banyak persoalan keuangan yang menimpa PGN. Hal ini berpotensi akan membuat holding yang diinduki oleh Pertamina ini tidak sehat.

Menurut Rieke, sebaiknya pemerintah membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Pertamina "Terlebih jika peraturan yang menjadi landasan hukum pengalihan saham seri B PGN kepada Pertamina tersebut berpotensi menimbulkan masalah bagi holding nantinya," ujar Rieke saat Rapat Panja Migas di DPR, Rabu (14/3).

Rieke menjelaskan melihat laporan keuangan PGN, sejak 2012 hingga 2016 laba PGN menurun. Ia mengatakan penurunan laba PGN ini tidak sejalan dengan peningkatan aset yang dilakukan oleh PGN. "Ada peningkatan aset dan pendapatan yang besar di 2012-2016, tapi laba usaha perusahan justru mengalami penurunan," tambah Rieke.

Rieke mencatat, pada 2012 PGN mencatatkan pendapatan sebesar 2.580 juta dolar dengan laba bersih 915 juta dolar. Lalu pada 2013 pendapatan perusahaan naik menjadi 3.001 juta dolar sedangkan laba bersih turun 838 juta dolar.

Pada 2014, PGN berhasil mengantongi pendapatan sebesar 3.253 juta dolar dengan laba turun menjadi 711 juta dolar. Hingga pada 2017, PGN membukukan pendapatan 2.165 juta dolar sedangkan laba bersih hanya sebesar 98 juta dolar.

Rieke menyarankan agar dilakukan audit khusus dan tinjauan lapangan atas proyek milik PGN sebelum pemerintah meneruskan lebih jauh pembentukan holding BUMN Migas tersebut. Sehingga, Pertamina sebagai perusahaan induk nantinya tidak dibebani oleh merosotnya kinerja PGN.

"Pembentukan holding BUMN Migas dilakukan pemerintah tanpa ada pembicaraan teknis dengan DPR, sehingga kami menilainya sebagai tindakan terburu-buru yang bisa berdampak pada kerugian negara. Kami akan sampaikan hal ini kepada KPK," ujar Rieke.

Deputi Bidang Usaha Tambang, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menjelaskan penyebab merosotnya laba PGN dari penyewaan FSRU sudah dipertimbangkan oleh pemerintah dalam mengambil keputusan. Fajar menilai penurunan laba yang dialami PGN merupakan dinamika bisnis yang juga terjadi di perusahaan migas manapun termasuk Pertamina.

"Tidak ada memberatkan Pertamina. Sudah kita kaji, FSRU Lampung itu kasus lama. Laba turun itu faktor eksternalitis, Pertamina juga sama," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement