REPUBLIKA.CO.ID, BANTEN -- Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta kembali menemukan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Golongan A1 pada komoditas pertanian yang masuk melalui bandara Soekarno Hatta. Pemusnahan dilakukan untuk menghindarkan kerugian petani di dalam negeri.
Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta, Eliza Suryati Roesli mengatakan,OPTK Gol.1 adalah bakteri tumbuhan berbahaya yang belum pernah ditemukan di Indonesia dan tidak dapat dibebaskan dengan cara perlakuan. Sedikitnya 300 kilogram (kg) bibit sawi putih dan 1 kg biji kedelai dimusnahkan.
Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta memusnahkan media pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Golongan A1 dengan incenerator, Selasa (6/3).
Bakteri berbahaya tersebut adalah Pseudomonas firidiflava yang terbawa oleh media pembawa bibit sawi putih asal Korea Selatan. Bakteri lainnya adalah Tobacco Streak Virus (TSV) yang terbawa oleh media pembawa biji kedelai asal Kanada.
"Dua jenis bakteri ini belum pernah ditemukan di wilayah Indonesia dan jika tersebar pada tanaman inang dapat merusak produksi tanaman tersebut," ujarnya, Selasa (6/3).
Media Pembawa 300 kg bibit sawi putih di impor oleh PT East West Seed, salah satu importir yang telah memiliki instalasi karantina tumbuhan. Sementara 1 kg biji kedelai diimpor oleh PT Exindo Karsa Agung.
Benih Sawi tersebut masuk pada 15 Januari dan selesai uji pada 22 Februari.
Sementara surat perintah pemusnahan dikeluarkan tanggal 27 Februari. Untuk biji kedelai, diketahui masuk pada 18 Januari dan selesai uji pada 26 Januari.
Surat perintah pemusnahan untuk biji kedelai ini keluar pada 27 Februari.
Sebenarnya kedua jenis media pembawa tersebut telah disiapkan Sertifikat Phytosanitary dari negara asal oleh para importir. Namun sesuai standar operasional yang ada, karantina Soekarno Hatta tetap wajib melakukan tindakan pemeriksaan karantina terhadap media pembawa tersebut.
"Meskipun media pembawa tersebut telah disertifikasi oleh negara asal, tapi kami tidak boleh lengah atau percaya begitu saja, tanpa melakukan uji laboratorium," ujar dia.
Seperti saat ini, jika pihaknya lengah dengan tidak lakukan pemeriksaan laboratorium, bakteri berbahaya yang belum ada di Indonesia itu dipastikan merugikan produksi pertanian petani kita.
Secara ekonomis, Eliza melanjutkan, 300 kg bibit sawi putih ini dapat ditanam untuk 600 hektare lahan dengan produktivitas 60 ton per hektare. Dengan begitu, pihaknya dapat menyelamatkan 36 ribu ton sawi hasil petani Indonesia atau sekitar Rp 252 miliar. Berdasarkandata perdagangan Komoditas Pertanian per 6 Maret 2018,harga sawi di pasar Rp 7.000 per kg.