REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Masa jabatan Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardoyo akan berakhir pada Mei 2018. Presiden RI Joko Widodo telah menyetorkan nama Perry Warjiyo sebagai calon Gubernur BI kepada DPR RI.
Direktur Utama Bank Syariah Bukopin, Saidi Mulia Lubis, menyatakan mendukung siapapun yang sudah diajukan oleh Presiden. "Mudah-mudahan segala sesuatu yang sudah baik selama ini akan semakin baik mengikuti perkembangan zaman. Karena sistem teknologi segala macam banyak di sana kan selalu dinamis baru lagi," kata Saidi di Jakarta.
Saidi menambahkan, sampai sejauh ini ketika masa Gubernur BI dijabat Agus sudah banyak kegiatan yang sengaja dilaksanakan BI untuk mendorong kegiatan syariah. "Harapannya ke depan akan lebih intens lagi dan lebih dalam lagi. Dalam arti bahwa masukan tataran-tataran yang lebih memberi keleluasaan kepada perbankan syariah," imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Aviliani, mengatakan kualifikasi Perry Warjiyo cukup memenuhi. Sebab, Perry Warjiyo berkecimpung di bidang moneter dan cukup lama menjabat di Bank Indonesia. Sehingga nantinya perpindahan dari Agus Marto ke Perry Warjiyo bisa smooth dan tidak ada pro kontra, atau tidak ada hal-hal negatif.
"Setahu kami dari dulu Perry dari sisi moneter, yang kita tahu BI butuh orang yang memang cakap di bidang itu, dan kini sudah saatnya lah beliau di posisi Gubernur BI," ucap Aviliani di Jakarta.
Aviliani menaambahkan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sangat berkaitan erat. Apalagi BI juga bicara soal bauran kebijakan dimana tak hanya pertumbuhan tapi juga butuh stabilitas. "Itu bisa kita lihat dari inflasi kita juga sekarang, kita melihat LTV relaksasi itu sebenarnya pro pertumbuhan, GWM averaging juga artinya menyerap pertumbuhan artinya dilonggarkan itu kan ada stabilitas yang juga pro pertumbuhan," ungkapnya.
Menurutnya, tantangan Gubernur BI ke depan antara lain mengenai persoalan perbankan yang paling banyak jaminannya dari properti. Jika harga properti sedang turun, maka akan berpengaruh terhadap jaminan kredit. "Dengan pemerintah bauran BI sudah cukup, tapi problem di sektor riil, harus digerakan, BI tidak bisa sendiri, makanya berkolabirasi beberapa pihak dengan pemerintah," imbuhnya.
Di samping itu, nilai tukar rupiah juga menjadi salah satu Pekerjaan Rumah terberat bagi Bank Indonesia tahun ini. Salah satu faktor pelemahan rupiah karena mata uang kawasan cenderung melemah. "Kalau sudah melemah, inflasinya kan harga akan naik, tantangan BI tahun ini dan tahun ke depan," kata Aviliani.