Kamis 01 Mar 2018 16:54 WIB

Perempuan Paling Banyak Jadi Korban Digitalisasi Ekonomi

Berkurangnya lapangan pekerjaan berdampak negatif pada perempuan.

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Nur Aini
Edukasi tentang kondisi kerja yang tidak ramah, pelecehan dan kekerasan seksual pada pekerja perempuan pada segala sektor. (Ilustrasi)
Foto: ANTARA/Atika Fauziyyah
Edukasi tentang kondisi kerja yang tidak ramah, pelecehan dan kekerasan seksual pada pekerja perempuan pada segala sektor. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Digitalisasi ekonomi, tak dapat dipungkiri, telah menggerus jumlah lapangan kerja yang tersedia. Ketua Dewan Pengurus International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Dian Kartika Sari menyebut, dampak dari berkurangnya lapangan pekerjaan tersebut paling banyak membawa dampak negatif pada perempuan.

Ia menjelaskan, kebanyakan pekerjaan yang kini digantikan mesin atau di-digitalisasi sebelumnya dikerjakan oleh perempuan. Frontline staff di bagian pembelian tiket yang kebanyakan diisi perempuan.

Selain itu, berdasarkan pengamatannya, Dian menyebut saat ini semakin jarang ditemui Sales Promotion Girl (SPG). Sebab, perusahaan kini lebih suka mempromosikan produknya melalui publik figure yang memiliki pengikut ribuan orang di media sosial.

"Digitalisasi ekonomi ini paling banyak korbannya perempuan," ujar Dian, yang juga menjabat sebagai Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dalam sesi diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (1/3).

Ia tak memungkiri bahwa digitalisasi ekonomi merupakan suatu keniscayaan. Seiring dengan perkembangan teknologi, akan semakin banyak pekerjaan yang dilakukan oleh mesin. Artinya, akan semakin banyak pula tenaga kerja yang tersingkir.

Pemerintah, kata Dian, harus menyikapi perubahan tersebut dengan menyiapkan kebijakan yang tepat. Jika tidak, ia khawatir angka kemiskinan akan semakin tinggi karena jumlah masyarakat yang menganggur bertambah. "Pemerintah harus cepat merespons. Jangan sampai mereka yang tertinggal ini jatuh miskin."

Sebelumnya, Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap adanya tren penyusutan jumlah lapangan kerja yang dihasilkan sektor formal sejak 10 tahun terakhir.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2010, setiap investasi sebesar Rp 1 triliun dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 5.015 orang. Di 2016, rasio tersebut menurun menjadi hanya 2.272 orang tenaga kerja per Rp 1 triliun nilai investasi. "Data mengonfirmasi bahwa investasi di sektor formal penyerapannya lebih sedikit," kata Hariyadi, akhir pekan lalu.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Shinta Kamdani menyebut berkurangnya penyerapan tenaga kerja berkaitan dengan otomatisasi industri, terutama di industri padat karya. Karena itu, Shinta juga mendorong agar pemerintah melakukan langkah antisipatif untuk merespons hal tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement