REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memprediksi gejolak kurs rupiah terhadap dolar AS diperkirakan akan terus terjadi hingga 20-21 Maret 2018 ketika Bank Sentral AS, The Federal Reserve, mengumukan kebijakan suku bunga acuannya. Sejak awal tahun hingga 21 Februari 2018, nilai tukar rupiah mencatat depresiasi -0,24 persen.
Pada hari ini, Selasa (27/2), kurs refrensi Jakarta Interbank Spot Dolar AS (Jisdor) dibuka Rp 13.650 per dolar AS. Sementara di pasar spot, rupiah diperdagangkan di Rp13.667 dolar AS.
"Bagi Indonesia, kami memahami dan menganggap wajar dinamika yang terjadi. Jadi hingga nanti di Maret ada kenaikan suku bunga acuan The Fed, baru kemudian ada kondisi yang stabil," kata Gubernur BI Agus Martowardojo di Jakarta, Selasa (27/2).
Agus mengatakan volatilitas atau tingkat gejolak rupiah hingga akhir Februari 2018 sebesar 7-8 persen. Tingkat gejolak tersebut disebabkan perbaikan data ekonomi AS, dan juga kebijakan Negara Paman Sam mengenai pelonggaran pajak yang akan memicu peningkatan kebutuhan pendanaan oleh pemerintah AS.
Kebutuhan pendanaan pemerintah AS itu akan ditutupi, salah satunya, melalui obligasi. Maka dari itu, imbal hasil obligasi AS dalam beberapa hari terakhir menunjukkan peningkatan.
"Kita juga lihat rapat The Fed yang mengesankan ekonomi Amerika Serikat ada perbaikan, sehingga memicu dana-dana kembali ke AS," tuturnya.
Agus mengatakan Bank Sentral siap melakukan stabilisasi ke pasar jika nilai tukar rupiah sudah tidak sesuai fundamental perekonomian. "BI akan tetap memberikan keleluasaan kepada nilai rupiah untuk mencerminkan kondisi fundamentalnya. Kalau sudah di luar nilai fundamental tentu BI akan ada di pasar," ujarnya.