REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastuktur menilai ketergantungan Indonesia terhadap utang merupakan masalah besar bagi bangsa ini. Mengutip dari realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pada Januari 2018 total pengeluaran yang digunakan untuk membayar bunga utang senilai Rp 23,17 triliun.
Jumlah itu setara dengan 9,7 persen dari total bunga utang yang akan dibayarkan pada tahun ini, yang jumlahnya Rp 238,6 triliun. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setiap tahunnya Pemerintah dan DPR menetapkan defisit dalam APBN tidak lebih dari tiga persen, sementara rasio utang pemerintah dibatasi pada level 60 persen terhadap PDB.
"Kedua indikator inilah yang selalu dijadikan klaim pemerintah, keuangan negara masih dianggap aman dan terkendali walaupun tumpukan utang negara untuk menutupi defisit setiap tahunnya semakin meningkat dan mengkhawatirkan," ujar perwakilan Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur, Andi Mutaqien dalam keterangan pers tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (26/2).
Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur terdiri dari Walhi, Elsam, Debt Watch Indies, Walhi Sulawesi Selatan, ILRC, dan Walhi Jawa Barat.
Andi Mutaqien yang juga merupakan perwakilan dari Elsam memaparkan, sejak penerapan anggaran defisit, utang merupakan kata kunci dalam pengelolaan APBN. Menurutnya, utang sebagai sumber pembiayaan menutup defisit dijadikan faktor penentu bagi keberlanjutan fiskal, yaitu keberlanjutan atas penerimaan dan pengeluaran pemerintah, baik pada sisi rencana maupun realisasi.
"Maka keberlanjutan fiskal sangat bergantung pada kemampuan pengelolaan utang pemerintah," kata dia.
Lebih lanjut Andi mengatakan, kondisi utang ini sangat rentan bagi keuangan negara, dan akan menyengsarakan warga negara. Menurut dia, pada kenyataannya kemampuan pengelolaan utang pemerintah terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
"Ini diindikasikan dengan meningkatnya Debt Service Ratio (DSR) dan membengkaknya defisit keseimbangan primer," ujar dia.
Menurut Andi, kemampuan penerimaan ekspor untuk membayar utang luar negeri semakin lama semakin berkurang. Sementara membengkaknya defisit keseimbangan primer menginsyaratkan bahwa APBN telah kehilangan kemampuannya untuk membayar bunga utang dari hasil penerimaan negara.
Pemerintah, kata dia, dipaksa mencari utang baru hanya untuk membayar bunga utang lama. Situasi ini membuat utang Indonesia terus membengkak dan semakin sulit keluar dari jeratannya.
Utang Luar Negeri Indonesia.
Sementara itu, perwakilan dari Debt Watch Diana Gultom menilai peningkatan utang untuk menutupi defisit anggaran terjadi sangat signifikan. Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri Indonesia mencapai 352,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.773 triliun per akhir Desember 2017. Jumlah tersebut naik 10,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Kontribusi terbesar dari utang luar negeri ini berasal dari utang luar negeri pemerintah. Pertumbuhan utang luar negeri pemerintah tercatat terus meningkat dalam empat tahun belakangan.
"Pertumbuhannya mencapai 5 persen pada 2014, lalu naik menjadi 9,9 persen pada 2015, naik lagi menjadi 10,9 persen di 2016, dan terakhir naik 14,1 persen pada 2017 menjadi 180,6 miliar dolar AS," ujarnya.
Sementara utang luar negeri swasta naik turun selama empat tahun belakangan. Sempat tumbuh 14,75 persen pada 2014, lalu melambat menjadi hanya 2,8 persen pada 2015, lalu turun pada 2016 dan terakhir naik 6,1 persen pada 2017 menjadi 171,6 miliar dolar AS. Maka utang luar negeri masih didominasi utang luar negeri pemerintah sebesar 51,3 persen dan sisanya 48,7 persen merupakan milik swasta.
"Dalam konteks negosiasi utang, Pemerintah seharusnya memiliki keberanian untuk merenegosiasi utang (terutama) yang telah terbukti berdampak buruk terhadap lingkungan (utang ekologis)," tutur Diana.
Ia mencontohkan program Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL) yang didanai Bank Dunia dan program Integrated Citarum Water Resources Management Program (ICWRMIP) yang didanai oleh Bank Pembangunan Asia (ADB).
Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur menilai defisit dan utang tidak akan pernah membawa bangsa ini mencapai kemandirian. "Maka kewajiban utama Jokowi untuk mengakhiri defisit termasuk didalamnya mendorong alternatif renegosiasi utang dalam kebijakan fiskal Indonesia," katanya memaparkan.