Sabtu 24 Feb 2018 13:49 WIB

Budaya Keselamatan Kerja Minim, Pemicu Kecelakaan Konstruksi

Rendahnya budaya keselamatan tersebut tercermin dari minimnya kampanye terkait itu.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Gita Amanda
Peninjauan K3. Direktur  Jendral Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Keselamatan dan Kesehatan dan Kerja (PPK dan K3)  Sugeng Priyanto bersalaman bersama Presiden Direktur MRT Willy usai melakukan peninjauan ke proyek MRT di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Jumat (22/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Peninjauan K3. Direktur Jendral Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Keselamatan dan Kesehatan dan Kerja (PPK dan K3) Sugeng Priyanto bersalaman bersama Presiden Direktur MRT Willy usai melakukan peninjauan ke proyek MRT di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Jumat (22/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Masyarakat Infrastruktur Indonesia Harun al-Rasyid menyebutkan, kecelakaan konstruksi yang terjadi belakangan ini dipicu karena budaya keselamatan di Indonesia sangat rendah. Rendahnya budaya keselamatan tersebut tercermin dari minimnya iklan atau kampanye keselamatan kerja.

"Coba kita perhatikan sama-sama, selama ini seberapa sering budaya keselamatan itu dikampanyekan? Tidak ada. Mungkin hal paling mendasar bagi perusahaan agar mencari keuntungan," kata Harun saat ditemui usai diskusi bertajuk "Proyek Infrastruktur: Percepatan dan Pertaruhan" di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (24/2).

Budaya keselamatan, lanjut dia, memiliki pengaruh besar untuk membangun kesadaran masyarakat secara umum. Terlebih, para pekerja proyek yang paling beresiko mengalami kecelakaan kerja.

Menurut dia, proyek pembangunan infrastruktur yang sedang digencarkan oleh pemerintah tidak bisa dilepaskan dari tahun politik dalam mendongkrak keberhasilan pemerintah. Sehingga banyak aspek yang dinilai tidak berjalan secara maksimal.

"Proyek infrastruktur ini bisa dibilang, lebih besar pasak daripada tiang. Karena apa? SDM (Sumber Daya Manusia) yang kurang, tapi mereka seperti dikejar tayang yang pada akhirnya membuat bias optimisme," kata dia.

Sementara itu, dia mengatakan, ada tiga metode yang bisa digunakan dalam menginvestigasi kecelakaan kerja proyek. Yaitu human error, mendalami faktor dan manusia dan mesin, dan terakhir tekanan kerja.

"Saya curigai ini sebagai fenomena gunung es, di mana tekanan kerja itu sangat tinggi, namun tanpa dibarengi apresiasi atau prestasi," kata Harun.

Sejak awal tahun 2018, setidaknya ada empat kecelakaan dalam pembangunan proyek infrastruktur di Jakarta. Pertama, pada 2 Januari 2018 girder jalan tol Depok-Antasari ambruk. Kecelakaan kerja pada proyek LRT berulang dengan ambruknya konstruksi tiang di Pulogadung, Jakarta Timur pada 22 Januari 2018.

Lalu pada 4 Februari 2018, sebuah crabe proyek pembangunan rel dwiganda di Jatinegara, Jakarta Timur, ambruk. Kejadian tersebut menewaskan empat orang pekerja.

Berikutnya, pada 5 Februari 2018, tembok beton underpass di Jalan Perimetere Bandara Soekarno-Hatta ambruk dan menimpa mobil yang tengah melintas. Terakhir adalah ambruknya tiang girder di proyek Becakayu yang terjadi pada Selasa (20/2). Akibatnya satu pekerja kritis dan enam pekerja lainnya luka parah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement