REPUBLIKA.CO.ID, GIANYAR -- Proyek kelistrikan nasional yang dikenal Jawa Bali Crossing (JBC) ditargetkan operasional akhir tahun 2020. Walaupun dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN tahun 2017 harusnya sudah operasional tahun 2019.
"Pertumbuhan permintaan listrik di Bali tahun 2017, rendah bahkan minus. Sementara permintaan listrik tahun 2016 mencapai dua digit, nah seandainya tahun 2018, pertumbuhan listrik di Bali kembali naik, misalkan hanya lima persen saja, maka proyek Jawa Bali Crossing harus sudah operasional akhir 2020," kata Nyoman Suwardjoni Astawa, GM PLN Distribusi Bali, di Denpasar, Kamis (22/2).
Menurut dia, Bali akan mengalami krisis atau defisit listrik pada tahun 2020 jika Jawa Bali Crossing tidak berjalan. "Beban puncak PLN Bali saat ini 852 MW, pasokan listrik dari tiga pembangkit listrik di Bali mampu memasok 940 MW, dan pasokan aliran listrik dari Jawa sebesar 320 MW sehingga kapasitas PLN Bali saat ini 1.260 MW masih aman.
Namun jika pertumbuhan kebutuhan listrik di Bali tahun 2018 sebesar lima persen saja, di bawah perkiraan pertumbuhan 8,5 persen maka tahun 2021, listrik di Bali akan mengalami banyak pemadaman. "Walau pun semua pembangkit listrik di Bali berfungsi dengan baik," kata Suwardjoni.
Ia dapat memahami berbagai kalangan agar Bali mandiri di bidang energi listrik dan tidak tergantung kepada Jawa. Caranya dengan membuat pembangkit listrik di pulau Dewata ini. Namun pembangkit listrik di Bali menggunakan energi batubara yang menimbulkan pencemaran udara.
"Jika Bali terus membangun pembangkit listrik dengan energi batubara akan membuat pencemaran udara dan bisa berdampak negatif bagi pariwisata Bali yang telah menjadi destinasi wisata dunia. Selain itu, harga listriknya tinggi dibandingkan dengan harga listrik dari proyek Jawa Bali Crossing. Jauh lebih murah dan bagus untuk pelanggan dan masyarakat Bali serta industri pariwisatanya," tambah dia.
Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP Universitas Udayana menyatakan menolak rencana pembangunan tahap dua PLTU Batubara Celukan Bawang sebesar 2x330 MW karena menimbulkan dampak negatif yang sangat berbahaya bagi polusi udara dan masyarakat sekitarnya. "Kami akan melakukandi depan PLTU Celukan Bawang," kata Ketua BEM FISIP Unud, Anang Putra Setiyawan secara terpisah.
Membangun pembangkit listrik dari energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan seperti energi surya, mikrohidro (air) dan energi angin itu hanya menghasilkan kapasitas yang tidak besar, sementara dengan proyek Jawa Bali Crossing kapasitas listrik di Bali bisa mencapai 2.600 MW.
Menanggapi penolakan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) se Bali terhadap proyek JBC ini dengan alasan saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) nanti melanggar kesucian pura, PLN Bali akan tetap mengikuti semua kearifan lokal dan aturan keagamaan. "Kami akan terus dialog dengan PHDI, pemerintah provinsi Bali, Pemkab Buleleng dengan melakukan forum general discussion (FGD) bersama universitas Udayana," katanya.