Senin 19 Feb 2018 20:14 WIB

Sosialisasi Hedging Syariah Masih Perlu Digencarkan

Hedging syariah bisa meminimalisasi kerugian terkait nilai tukar mata uang.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Nur Aini
Hedging Syariah (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Hedging Syariah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor (IPB), Irfan Syauqi Beik, menyatakan, sosialisasi adanya fasilitas lindung nilai (hedging) dengan prinsip syariah perlu terus dilakukan. Sebab, dalam transaksi bisnis banyak risiko nilai tukar yang dihadapi.

Menurut Irfan, fasilitas hedging syariah prosesnya sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sedangkan hedging konvensional belum sesuai dengan prinsip syariah.

Fasilitas hedging tersebut didasarkan pada kenyataan di dalam transaksi bisnis ada sejumlah risiko yang harus dimitigasi pada sektor-sektor tertentu, contohnya ekspor dan impor. Selain itu, penyelenggaraan haji dan umrah yang juga berhadapan dengan risiko nilai tukar yang fluktuatif. Di satu sisi, jemaah haji dan umrah menyetorkan uang dalam rupiah kemudian penyelenggara haji dan umrah menggunakan transaksi valuta asing yakni dolar dan riyal.

"Di sini ada risiko yang dihadapi, yakni fluktuasi nilai tukar. Kemudian dari sisi syariah DSN sudah mengeluarkan fatwa nomor 96 yang terkait dengan hedging ini," kata Irfan saat dihubungi Republika.co.id, Senin (19/2).

Irfan menjelaskan, yang membedakan hedging syariah dan konvensional antara lain dari sisi motif dari hedging syariah didasarkan pada kebutuhan riil. Sedangkan, hedging konvensional motivasinya bisa untuk berbagai hal, seperti spekulasi.

Hedging syariah tidak boleh digunakan untuk spekulasi dalam arti orang berusaha meraih keuntungan dari transaksi yang dilakukan dengan memanfaatkan fluktuasi nilai tukar. Akan tetapi, hedging syariah didasarkan pada kebutuhan riil.

Kedua, mekanismenya bisa sifatnya langsung atau bursa komoditas. Di dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) sudah ada akad-akadnya. Melalui mekanisme langsung (albasith) atau kompleks (almurokab), pihak yang terlibat berjanji melakukan transaksi spot nanti di masa depan dengan jumlah nilai dan waktu yang sudah ditetapkan tapi besaran nilai tukar ditentukan sekarang. Selain itu, bisa melalui mekanisme bursa komoditas artinya proses hedging tersebut nanti melibatkan komoditas seperti emas atau komoditas yang lain.

"Artinya di sini ya industri atau pengusaha diberikan kebebasan memilih mekanisme mana yang sesuai dengan kebutuhan," ujarnya.

Menurutnya, sosialisasi mengenai adanya hedging syariah perlu terus dilakukan. Hal itu terutama ke sektor-sektor bisnis atau industri yang memang memiliki risiko nilai tukar. "Untuk meminimalisasi risiko nilai tukar ini DSN mengeluarkan fatwa sebagai jalan keluar. Bagi mereka yang ingin memenfaatkan hedging untuk meminimalisasi potensi kerugian," ucapnya.

Irfan menekankan, pemanfaatan hedging syariah harus didasarkan kebutuhan riil. Selain itu, mekanisme hedging harus ada underlying.

Dalam edukasi tersebut, ujarnya, semua pihak harus terlibat aktif. Bank Indonesia sebagai regulator diminta aktif melakukan sosialisasi. Kemudian kementerian seperti Kemendag juga bisa melakukan sosialisasi terkait perdagangan internaisonal. "Perlu disampaikan opsi memiliki hedging syariah karena saya melihat kesadaran berbisnis dengan prinsip syariah mulai meningkat ini perlu difasilitasi dengan baik," ungkapnya.

Hal tersebut perlu disampaikan untuk mengantisipasi risiko nilai tukar ada hedging syariah. DSN, kata dia, juga aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat sehingga kesadaran masyarakat terus tumbuh.

Baca juga: BI: Industri Halal akan Tingkatkan Hedging Syariah

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement