Rabu 14 Feb 2018 10:00 WIB

Konsultasi Syariah: Denda Keterlambatan pada Bank Syariah

Denda keterlambatan tidak termasuk ke dalam riba.

Oni Sahroni, Anggota DSN MUI
Foto: Dokpri
Oni Sahroni, Anggota DSN MUI

REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh Oleh: Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

 

Pertanyaan: 

Assalamu’alaikum wr wb.

 

 

Pak Ustaz, saya mau bertanya mengenai produk pembiayaan berbasis akad murabahah, seperti pembiayaan rumah dan kedaraan bermotor. Bank syariah selaku penjual menetapkan dan menarik denda keterlambatan bagi setiap nasabah yang terlambat membayar angsurannya. Denda keterlambatan tersebut berupa nominal uang tertentu, misalnya setiap hari membayar Rp 2.500. Apakah sanksi atau denda keterlambatan tersebut diperbolehkan? 

Abdullah (Depok)

 

 

Jawaban: 

Wa’alaikumsalam wr wb 

 

Bank syariah boleh menarik denda keterlambatan dari nasabahnya dalam akad murabahah. Syaratnya, nasabah tersebut adalah nasabah yang mampu tetapi menunda pembayaran. Denda tersebut pun diperuntukkan sebagai dana sosial dan bukan dijadikan sebagai pendapatan bank syariah. 

Kesimpulan ini berdasarkan pada beberapa dalil dan kaidah. Denda keterlambatan yang dimaksud adalah sanksi yang dikenakan kepada nasabah yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.

Menurut fikih, bank syariah boleh mengenakan sanksi keterlambatan berupa nominal uang tertentu kepada nasabah yang mampu tetapi menunda pembayaran berdasarkan hadis Rasulullah Saw: “Menunda-nunda (pembayaran) yang  dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” (HR Nasa'i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad). 

Selain itu, Rasulullah SAW bersabda, “Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan utangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad, Malik, dan Darami).

Berdasarkan hadis tersebut, apabila seorang debitur mampu tetapi menunda-nunda pembayaran maka itu termasuk berlaku zalim kepada kreditur. Lebih khusus, pengenaan denda keterlambatan tersebut untuk menghindarkan kerugian dan mudarat kepada bank syariah dan juga kepada pemilik dana.

Mudarat dan kerugian yang nyata ini yang harus dihindari. Salah satunya dengan pengenaan denda keterlambatan agar nasabah disiplin berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik).

Denda keterlambatan ini juga tidak termasuk ke dalam riba karena riba adalah manfaat yang diterima oleh debitur atas jasa pinjaman yang diberikan kepada debitur. Hal ini sebagaimana kaidah fikih: “Bahwa setiap manfaat yang diambil oleh kreditur (pihak yang meminjamkan uang) atas jasa  pinjamannya termasuk kategori riba.” Sedangkan, dana keterlambatan bukan menjadi pendapatan bank syariah, tetapi menjadi dana sosial yang diperuntukkan bagi para dhuafa dan yang berhak lainnya.

Sanksi berupa denda uang juga sesuai dengan pendapat standar syariah internasional AAOIFI dan pendapat Dewan Syariah Nasional MUI. DSN MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 17 /DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran. 

Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan lembaga keuangan syariah kepada nasabah yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja. Akan tetapi, nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.

Adapun nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan iktikad baik untuk membayar utangnya boleh dikenakan sanksi. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. 

Fatwa ini juga mengatur bahwa sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Kemudian, dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.  Wallahu a’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement