Rabu 07 Feb 2018 11:20 WIB

Konsultasi Syariah: Bekerja di Usaha yang tidak Halal

Setiap orang yang terlibat dalam usaha tersebut juga tidak diperkenankan dalam Islam.

Oni Sahroni, Anggota DSN MUI
Foto: Dokpri
Oni Sahroni, Anggota DSN MUI

REPUBLIKA.CO.ID,  Diasuh oleh: Dr Oni Sahroni MA, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

Pertanyaan:

 

Assalamu'alaikum wr wb

 

Bagaimana Pandangan fikih terhadap para pegawai atau karyawan (profesional) yang bekerja di tempat (usaha) yang tidak halal, seperti diskotik dan sejenisnya ? Bagaimana pandangan fikih juga terhadap pendapatannya?

Abdullah (Jakarta)

Wa’alaikumsalam wr wb

Dana non-halal adalah setiap pendapatan yang bersumber dari usaha yang tidak halal (al-kasbu al-ghairi al-mayru’). Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI menjelaskan, beberapa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah tersebut yaitu usaha lembaga keuangan konvensional,  perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang terlarang. Kemudian, produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram atau penyedia barang-barang dan jasa yang merusak moral.

 

Jika dijelaskan ulang, bekerja di usaha yang tidak halal tersebut adalah bekerja di perusahaan (entitas) yang bisnis utama usahanya tidak halal. Di antara kegiatan usahanya mengatur atau memperjualbelikan produk yang tidak halal, baik haram karena fisik (seperti babi dan khamr) maupun haram karena nonfisik. Di antara contohnya adalah bekerja di (minuman keras dan asusila), usaha produksi (distribusi) narkoba, usaha produksi pornografi dan pornoaksi, usaha pencucian uang, transaksi korupsi dan sejenisnya.

 

Menurut fikih, bekerja di usaha-usaha tersebut di atas itu tidak diperkenankan (haram) dalam Islam, termasuk setiap orang yang terlibat dalam usaha tersebut juga tidak diperkenankan dalam Islam.

 

Contohnya dalam masalah riba. Dari Jabir, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, Pemberi riba, pencatat, dan saksinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka itu dosanya sama.’” (HR Muslim). 

 

Begitu pula dalam masalah risywah,  dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa " Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap". (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). 

Begitu pula dalam bab-bab lain, Allah tidak hanya mengharamkan pelakunya langsung, tetapi juga pelaku tidak langsung. Sesuai dengan kaidah sad adz dzari'ah (meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang).

Kesimpulan tersebut juga yang bisa dipahami dari pernyataan Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Keputusannya no. 7/1/65, pada perteman ke-7 sebagai berikut: bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa membeli saham pada perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan usaha yang haram, seperti transaksi ribawi,  memproduksi barang yang haram, jual beli barang yang haram. Pada prinsipnya, haram membeli saham pada perusahaan yang kadang- kadang melakukan  transaksi  yang haram seperti transaksi ribawi dan sejenisnya, walaupun kegiatan utama perusahaan tersebut itu  adalah usaha yang halal. (Qararat wa taushiyat majma al-fiqhi al-islami at-tabi’ li munadzamati al-mu’tamar al-islami, hal. 212). 

 

Di antara dalil (istisyhad) yang digunakan adalah kaidah fikih berikut: Jika ada dana halal dan haram bercampur, maka menjadi dana haram. Sesuai kaidah fikih ini, jika dana halal bercampur dengan dana haram, maka hukum haram lebih diunggulkan dan menjadi hukum keseluruhan dana tersebut. (al-Asybah wa an-nadzair, as-Suyuthi dan al-Mausu’ah al-fiqhiyah al-kuwaitiyah, 8/76). 

 

Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa bekerja di perusahaan (entitas) yang bisnis utama usahanya tidak halal sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas itu tidak diperkenankan dalam Islam. Selanjutnya berikhtiarlah mencari usaha (maisyah) yang halal, agar pendapatan menjadi berkah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement