REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai data produksi beras menjadi sumber polemik dari melonjaknya harga komoditas tersebut pada awal 2018.
"Karena datanya tidak akurat, ikut menyebabkan kesalahan tata kelola pangan kita," kata Dwi Andreas Santosa di Jakarta, Senin (6/2).
Dwi Andreas mengatakan ketidaksinkronan data dengan kenyataan di lapangan sudah berlangsung lama, hingga puncaknya pemerintah memutuskan untuk mengimpor 500 ribu ton beras khusus sebagai cadangan pada akhir Januari 2018.
Untuk itu, ia menyarankan agar Kementerian Pertanian maupun Badan Pusat Statistik (BPS) untuk terlibat dan bekerja sama dalam pengambilan data produksi, agar pemerintah bisa mengambil kebijakan yang tepat terkait tata kelola pangan.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian IPB ini, Kementerian Pertanian bisa mengambil kuasa penuh untuk mengukur luasan lahan panen dengan berdasarkan perkiraan untuk sampel.
Sedangkan, untuk pengerahan sumber daya manusia guna menghitung produktivitas bisa diserahkan kepada 22 ribu tenaga bersama dari Kementerian Pertanian maupun BPS.
"Jadi yang memperoleh data untuk produksi 75 persen itu Kementan, 25 persen BPS dari mantri statistik. Kemudian, data luas panen dan produktivitas, digabung menjadi satu menjadi data nasional yang merupakan data produksi padi," ujar dia.
Terhadap polemik ini, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) KPPU Syarkawi Rauf menyatakan rendahnya kredibilitas data produksi beras menjadi satu dari tiga penyebab naiknya harga beras diikuti kelangkaan pasokan.
Karena itu, KPPU menyarankan agar dilakukan audit data produksi beras di Kementerian Pertanian dan BPS bersama dengan perguruan tinggi sehingga tidak terus menerus menjadi sumber perdebatan.
Sementara itu, BPS mencatat komoditas beras menjadi salah satu komoditas utama yang menjadi penyumbang inflasi pada Januari 2018 sebesar 0,62 persen.