Kamis 01 Feb 2018 18:47 WIB

BSB Tingkatkan Pembiayaan Sektor Pendidikan dan Kesehatan

Tahun lalu, porsi pembiayaan pendidikan dan kesehatan baru sekitar 40 persen.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Nidia Zuraya
Petugas melayani transaksi nasabah di kantor layanan Bank Syariah Bukopin, Jakarta. ilustrasi
Foto: Republika/ Wihdan
Petugas melayani transaksi nasabah di kantor layanan Bank Syariah Bukopin, Jakarta. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Syariah Bukopin (SBS) menargetkan peningkatan porsi pembiayaan di sektor pendidikan dan kesehatan menjadi 50 persen dari total pembiayaan pada 2018. Tahun lalu, porsi pendidikan dan kesehatan sekitar 40 persen dari total pembiayaan.

Direktur Utama Bank Syariah Bukopin, Saidi Mulia Lubis, menjelaskan porsi pembiayaan tahun ini sebesar 50 persen akam disalurkan untuk pendidikan dan kesehatan. Kemudian 15 persen untuk sektor konsumen, dan 35 persen lain-lain. BSB juha menyiapkan porsi 15 persen untuk pembiayaan bagi developer perumahan klaster kelas menengah.

"BSB itu ingin fokus ke bisnis pendidikan dan kesehatan. Karena selain Bank Bukopin ada pemegang saham lain yang memberi kami corak tertentu, ada Muhammadiyah yang basisnya pendidikan dan kesehatan," kata Saidi di Jakarta, Kamis (1/2).

Menurutnya, selama ini BSB telah menyalurkan pembiayaan amal-amal usaha Muhammadiyah lebih dari Rp 500 miliar. Saidi menargetkan tahun ini bisa tembus Rp 1 triliun pembiayaan untuk bisnis Muhammdiyah. Di samping itu, untuk mendorong bisnis konsumer, BSB telah bekerja sama dengan Bukopin Finance. Ditargetkan pembiayaan konsumer tahun ini mencapai Rp 150 miliar.

Secara keseluruhan, BSB menargetkan pertumbuhan pembiayaan sebesar 13 persen pada 2018. BSB akan menggenjot pembiayaan karena rasio FDR saat ini sekitat 82 persen. Sehingga masih ada ruang untuk ekspansi sampai rasio FDR di batas maksimal 92 persen.

"Profit kami 2018 targetnya tumbuh tidak besar sekitar 10-15 persen, angkanya sekitar Rp 20 miliar," ucapnya.

Porsi dana murah (CASA) ditargetkan sekitar 23 persen tahun ini, meningkat dari posisi CASA pada akhir 2017 sebesar 17 persen. Total DPK saat ini mencapai kurang lebih Rp 6 triliun.

Pada kuartal IV 2017, BSB mengalami pelunasan debitur dari grup multifinance sekitar Rp 500 miliar. Hal itu yang membuat rasio FDR turun menjadi 82 persen dari sebelumnya 92 persen pada pertengahan 2017. Total pembiyaaan BSB pada akhir 2017 ditutup sekitar Rp 5 triliun.

"Tahun 2018 ini kami harus memacu pembiayaan supaya FDR bisa kembali ke posisi 92 persen. Karena kalau kami tidak segera kan mubazir dan membuat rasio bagi hasil kepada nasabah funding menjadi rendah," ujar Saidi.

Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) BSB saat ini sebesar 20 persen. Angka tersebut juga disumbang dari pelunasan pembiayaan pada kuartal IV 2017. Dimana pada pertengahan 2017 CAR BSB sebesar 16 persen.

Di sisi lain, tahun ini BSB akan mendapatkan suntikan modal dari Bank Bukopin senilai Rp 100 miliar yang direncanakan pada kuartal III. Suntikan modal tersebut akan digunakan untuk pengembangan usaha khususnya pembiayaan. Sebelumnya, pada 2017 BSB telah mendapatkan suntikan modal sebesar Rp 200 miliar yang diberikan dalam dua tahap.

"Harapan kami dengan ditambah suntikan Rp 100 miliar, modal inti kami tembus Rp 1 triliun insyaAllah BUKU 2. Dengan BUKU 2 produk-produk lebih luas lagi dan ruang lingkup lebih leluasa," imbuhnya.

Dari sisi kualitas pembiayaan BSB yang tercermin dari rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing/NPF) pada akhir 2017 sekitar 4 persen untuk gross. Rasio NPF ditargetkan turun menjadi di bawah 3 persen pada akhir tahun 2018. Upaya memperbaiki NPF antara lain melalui penagihan, restrukturisasi, kemudian meminta nasabah menyelesaikan sendiri atau dibantu dengan penjualan jaminan.

Sementara itu, Direktur Bisnis BSB, Aris Wahyudi, mengatakan, pertumbuhan pembiayaan pada 2018 ditargetkan sekitar 13 persen, di atas rata-rata industri. Menurutnya, saat ini perbankan syariah baik Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS) dalam kondisi kelebihan likuiditas. Hal itu terlihat dari rasio FDR di BSB yang sebesar 82 persen, sehingga masih ada ruang sekitar 10 persen untuk ekspansi.

"Untuk tahun 2018 ini kami justru ingin switching deposito ke CASA. Kalau kemarin porsi CASA 17 persen kami ingin naikkan ke 25-30 persen. Sedangkan FDR dipertahankan 92 persen," kata Aris.

Dari sisi profit menurut Aris sangat diengaruhi kondisi ekonomi yang belum stabil. Terlebih di BUS tengah memperbanyak cadangan PPA, sehingga laba BSB stagnan. Laba BSB pada 2017 sekitar Rp 10 miliar. "Kita bisa naik 50 persen untuk tahun ini sudah bagus. Cadangan kami naik hampir 50 persen. Posisi sekarang cadangan Rp 130 miliar," imbuh Aris.

Aris berharap, kondisi perekonomian tahun ini lebih baik. Terlebih dengan adanya perhelatan ASEAN Games dan Pemilihan Kepala Daerah diperkirakan lebih banyak perputaran uang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement