Rabu 31 Jan 2018 20:33 WIB

Pengenalan Nasabah Jadi Tantangan Fintech di Indonesia

Asosiasi dan regulator lintas kementerian masih membahas soal pengenalan nasabah ini.

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
(Dari kiri ke kanan) Founding Partner of Fin Tech Australia Simon Cant, Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Ari Awan, dan Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) M. Ajisatria Suleiman memberi keterangan kepada media seputar forum tekfin yang digelar bersama AFTECH dengan Fin Tech Australia di Jakarta, Rabu (31/1).
Foto: Fuji Pratiwi/Republika
(Dari kiri ke kanan) Founding Partner of Fin Tech Australia Simon Cant, Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Ari Awan, dan Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) M. Ajisatria Suleiman memberi keterangan kepada media seputar forum tekfin yang digelar bersama AFTECH dengan Fin Tech Australia di Jakarta, Rabu (31/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari sekian kendala layanan keuangan berbasis teknologi informasi (tekfin) di Indonesia, pengenalan nasabah (KYC) termasuk persoalan utama. Hal ini masih terus dibahas asosiasi bersama regulator lintas kementeria dan lembaga.

Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) M. Ajisatria Suleiman menuturkan, dalam satu survei di antara anggota AFTECH soal hambatan, hampir 95 persen menjawab KYC digital. Medio 2016 lalu, Aji sempat hadir dalam sebuah forum diskusi yang digelar Kedubes Australia dengan menghadirkan seorang guru besar yang membahas strategi keamanan siber di Australia menggunakan tanda tangan digital (digital signature) yang mereka sebut infrastruktur publik.

Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Ari Awan menjelaskan, KYC digital sedang intensif didiskusikan di asosiasi bersama PPATK, OJK, BI, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Keuangan termasuk akan sperti apa implementasinya. AFTECH mencoba belajar dari berbagai negara juga soal itu.

Ada beberapa perusahaan pengembang teknologi rintisan (start up) yang mengkhususkan diri untuk KYC digital seperti dan bisa bermitra dengan tekfin. ''Keamanan siber terus berkembang. Ini perlombaan. Tapi kami mengacu pada praktik terbaik internasional,'' kata Ari dalam konferensi pers forum bersama AFTECH dan Fintech Australia di Jakarta, Rabu (31/1).

Untuk masyarakt masyarakat yang belum berbank, KYC adalah yang paling penting. Penggunaan KYC digital harusnya membuat biaya lebih murah di Indonesia. Karena berbeda dengan pasar Australia, kedua negara bisa tukar SDM. Apalagi Indonesia juga tidak satu pulau seperti Australia.

Soal KYC digital, India sedanga bertahap menerapkan identitas digital. Itu bisa jadi referensi Indonesia. ''Indonesia sudah coba dgn KTP elektronik. Tapi saya enggak bisa komentar banyak,'' ucap Ari.

Menurut Ari, identitas punya banyak efek positif seperti ferivikasi indentitas yang bisa diaudit. Indonesia juga nampaknya perlu punya standardisasi keamanan.

Founding Partner of Fin Tech Australia Simon Cant mengatakan, persoalan utama yang sekarang tekfin Australia hadapi adalah pemilahan data. Karena data bisa mengalir antar perusahaan di seluruh dunia dan tidak mengindahkan privasi. Fin Tech Australia ingin individu terlindung namun data tetap bisa mengalir.

''Data adalah 'minyak baru'. Data koneksi paling relevan bagi industri dengan masyarakat,'' ungkap Simon.

Ia mengatakan, Australia juga bisa belajar dari pasar Indonesia dengan pertumbah yang cepat, dinamis dan sangat kompetitif. Banyak hal berubah cepat dan Jakarta sangat kompetitif dan fintek adalah area yang punya peluang besar di sana.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement