Jumat 26 Jan 2018 14:05 WIB

Wawancara: Sikap BI Tegas Larang Bitcoin

BI justru mendorong perkembangan teknologi blockchain.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Elba Damhuri
Asisten Direktur Fintech Office Bank Indonesia Yosamartha saat memberikan paparan pada acara Focus Group Discussion (FGD) bertema Virtual Currency yang diselenggarakan oleh Republika di Double Tree Hotel, Cikini, Jakarta, Kamis (25/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Asisten Direktur Fintech Office Bank Indonesia Yosamartha saat memberikan paparan pada acara Focus Group Discussion (FGD) bertema Virtual Currency yang diselenggarakan oleh Republika di Double Tree Hotel, Cikini, Jakarta, Kamis (25/1).

REPUBLIKA.CO.ID Wawancara: Asisten Direktur Fintech Office Bank Indonesia, Yosamartha

Mata uang digital seperti bitcoin saat ini menimbulkan polemik. Seperti apa awal kemunculannya?

Di dunia maya dan riil ada perubahan paradigma. Dulu, inovasi itu selalu di institusi formal, seperti bank, asuransi, dan lain sebagainya. Sekarang, inovasi itu lahir dari konsumen. Contoh, dari krisis 2008. Di Amerika Serikat (AS), institusi formal atau bank tidak boleh mengeluarkan kredit. Ekonomi menjadi tidak bergerak. Hal itu memunculkan jenius-jenius muda. Mereka bergerak dan mencoba mengeluarkan ide cemerlang, salah satunya di fintech (financial technology).

Dampak inovasi itu, maka diterobos semua aksesori middle man. Tidak perlu ada bank, otoritas, negara. Semua transaksi jadi peer to peer. Sesuai kesepakatan saja. Apakah inovasi ini ditolak? Tentu tidak. Karena, inovasi adalah keniscayaan yang tidak bisa ditentang. Tapi, ada beberapa aspek moral yang kami ke depankan.

Virtual currency itu sekarang jumlahnya 1.490. Tapi, besok kalau ada yang buat berarti bertambah. Mungkin sekarang sudah dua ribu jumlahnya, kita juga tidak tahu. Intinya, siapa pun bisa membuat virtual currency.

Seperti apa risiko yang bisa berdampak ke pembeli bitcoin?

Karakter virtual currency itu tidak ada regulator. Sifatnya individu ke individu. Kemudian, identitas pengguna tersamarkan. Selain itu, tidak ada otoritas sentral atau pengelola yang bertanggung jawab. Akhirnya, harga bergantung pada supply and demand.

Tahun ini, dalam setahun kenaikan bitcoin bisa mencapai 900 persen sampai 1.300 persen. Kalau dalam rentang lima tahun, kenaikannya 164 kali lipat atau 16 ribu persen. Kalau investasi, lebih dari 40 persen saja kita anggap bodong. Ini investasi return-nya 16 ribu persen, jadi namanya apa? Inilah mengapa virtual currency begitu meledak. Tapi, volatilitasnya ternyata tinggi. BI secara tegas menyatakan tidak boleh menggunakannya sebagai alat pembayaran. Nilainya langsung turun sebanyak 30 persen dalam sehari.

Apa tantangan BI mengatasi permasalahan ini?

Literasi digital masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Eropa atau AS. Di sana, kalau mereka beli virtual currency lalu ludes, mereka sudah paham itu risiko sendiri. Tapi, kalau masyarakat kita, bisa saja yang akan dituntut regulator atau pemerintah. Selain soal itu, apa kita tidak sayang kepada masyarakat? Jadi, hal ini bagian dari kontrol moral kami.

Dari sisi teknologi, kami terus mempelajari. Bitcoin adalah produk, tapi teknologinya adalah blockchain. Dalam dunia ilmu pengetahuan, blockchain disebut sebagai penemuan besar abad ini dan diprediksi akan semakin luar biasa dalam beberapa tahun ke depan.

Sikap BI sama sekali tidak melarang teknologi blockchain. Kami justru mendorong teknologi itu, tapi tidak untuk produknya yang meresahkan masyarakat. Dari karakteristik itu, sikap BI tegas dengan melihat mulai dari aspek stabilitas sistem keuangan, moneter, perlindungan konsumen, risiko tindak pencucian uang, dan pendanaan terorisme.

Sejak 2014, BI sudah mengeluarkan siaran pers menyatakan bitcoin bukan alat pembayaran yang sah. Tentunya, aturan masih bisa berubah. Sepanjang mata uang virtual memenuhi aspek yang baik, bukan tidak mungkin ke depan akan dibolehkan. Tapi, saat ini indikasinya masih spekulatif. Jadi, kami melarangnya untuk digunakan sebagai alat pembayaran. Terkait pembelian individu, itu hak asasi manusia, tapi kita peringatkan untuk jangan membeli.

Baca Juga: Pro Kontra Uang Digital: Kasus Bitcoin

(Pengolah: muhammad iqbal).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement